Festival Film Wartawan 2025, Tribut Untuk Wina Armada Sukardi

Oleh: Benny Benke.

“Selama ada kami, FFWI akan terus ada.”

Kalimat itu melayang di ruangan CGV FX Sudirman, Jakarta, pada Rabu sore di bulan Juli. Suara Ahmad Mahendra, Dirjen Kebudayaan RI, menggema di antara dinding-dinding yang pernah menyaksikan begitu banyak cerita terpateri dalam seluloid. Ia berdiri di hadapan wajah-wajah yang akrab dengan kamera dan kata—Christine Hakim, Adisurya Abdy, Zairin Zain, Noorca Massardi—seolah sedang membacakan sebuah ikrar.

Ini bukan sekadar pengumuman perubahan nama dari *Festival Film Wartawan Indonesia menjadi Festival Film Wartawan (FFW). Ini adalah pembacaan wasiat.

Sebuah Nama yang Berubah, Sebuah Roh yang Tetap Sama

FFWI—atau sekarang FFW—adalah festival yang lahir dari tangan wartawan, untuk wartawan, tapi juga untuk semua yang percaya bahwa film bukan sekadar hiburan. “Ini bagian penting dari ekosistem perfilman Indonesia,” kata Mahendra di hadapan Ketua Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) Dr. Naswardi, M.M., M.E., Direktur Film Syaifullah Agam Ph.D, dan sederet wartawan senior dari PWI Pusat dan PWI Jaya, serta puluhan wartawan film nasional.

Lima tahun ia mengawal festival ini, sejak masih menjadi Direktur Perfilman, Musik, dan Media, hingga kini memegang tampuk sebagai Dirjen Kebudayaan RI.

Tapi di balik angka-angka itu, ada sebuah nama yang tak pernah absen dalam narasinya: Wina Armada Sukardi.

Wina: Sang Pencipta yang Kini Menjadi Semangat

“FFW dan Mas Wina tidak bisa dipisahkan,”ujar Mahendra, suaranya seperti teriris ketika menyebut nama itu. Wina, yang telah pergi, adalah arsitek dari festival ini. Ia yang merumuskan naskah Pahlawan Nasional Umar Ismail, ia yang menggagas FFWI, ia yang meletakkan batu pertama.

“Saya mengenalnya di akhir masa jabatannya, tapi masukan-masukannya tentang perfilman tak pernah berhenti,” kenang Mahendra. Di sini, kita melihat sebuah ironi yang puitik: justru di akhir, sebuah pertemuan bisa melahirkan sebuah kesetiaan yang abadi.

Bukan Hanya Fisik, Tapi Juga Batin

“Ini bukan hanya soal kedekatan fisik, tapi juga kedekatan batin yang mendalam,” lanjut Mahendra. Kata-katanya seperti menggambarkan sebuah hubungan yang melampaui birokrasi—sebuah ikatan antara dua orang yang percaya pada hal yang sama.

Dan kini, dengan ketiadaan Wina, FFW harus berdiri sendiri. “Ini harus menjadi cambuk untuk menjadi lebih baik,” tegas Mahendra. Karena bagi Wina, FFWI bukan sekadar festival. Ia adalah jembatan, panggung apresiasi, ruang yang jujur dan kritis.

Warisan yang Harus Dihidupi

“Semoga semangat dan cita-cita almarhum menjadi pemicu untuk membuat FFW lebih baik,” tutup Mahendra. Sebuah harapan yang sederhana, tapi berat. Sebab, ia tak hanya berbicara tentang sebuah acara tahunan—ia berbicara tentang menjaga nyala api yang ditinggalkan seseorang.

Di luar gedung, Jakarta masih sibuk dengan deru mesin dan langkah kaki yang tak pernah berhenti. Tapi di dalam CGV FX, pada Rabu sore itu, waktu seolah berhenti sejenak.

Kita menyaksikan sebuah momen di mana sebuah nama berubah, seorang maestro pergi, tapi sebuah semangat tetap hidup.

Dan selama semangat itu masih bernapas—*selama masih ada mereka yang ingat*—FFW akan terus ada.

Mungkin inilah keindahan dari sebuah festival yang lahir dari tangan wartawan: ia adalah cerita tentang cerita, film tentang film. Dan seperti film yang baik, FFW—dulu FFWI—tak akan berakhir di credits terakhir.

Ia akan terus diputar ulang, dikenang, dan dihidupi.

Persis seperti kenangan akan Wina.

Persis seperti komitmen Ahmad Mahendra.

Dan persis seperti kritik film yang lahir dari tangan para wartawan, menjadi kisah-kisah yang tak pernah benar-benar selesai*

Benny Benke
Ketua Pelaksana FFW 2025