JAKARTA – Wakil Jaksa Agung Dr. Arminsyah didampingi oleh Kepala Badan Diklat Kejaksaan RI Setia Untung Arimuladi, Kepala Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri Dr. Asep N. Mulyana, dan Asisten Umum Jaksa Agung Dr. Reda Manthovani menghadiri Konferensi Jaksa Agung China-ASEAN Ke-12 yang diselenggarakan di Sokha Siem Reap Resort & Convention Center Kamboja pada tanggal 6-7 November 2019.
The 12th China-ASEAN Prosecutors-General Conference merupakan agenda tahunan yang dihadiri oleh para Jaksa Agung negara-negara anggota ASEAN serta China, yang pada tahun lalu dilaksanakan di Brunei Darussalam. Untuk itu, Arminsyah mengucapkan apresiasi setinggi-tingginya kepada segenap Jaksa Agung China-ASEAN yang berkesempatan untuk hadir dalam konferensi ini.
“Kehadiran kita semua merupakan sebuah katalisasi sehingga semakin mengeratkan ikatan komitmen maupun kesungguhan untuk senantiasa bersinergi, bekerjasama dan berkoordinasi satu sama lain,” Kata Arminsyah.
Pertemuan tahunan Jaksa Agung China-ASEAN telah terjalin sejak dua dekade lampau dan tidak terlepas dari rencana besar penguatan kemitraan strategis dengan basis kerjasama yang saling menguntungkan dalam integrasi ASEAN dan pembangunan komunitas, kapasitas, sumber daya, sinergitas rencana induk koneksivitas ASEAN 2025 serta “China’s Belt and Road Initiative”.
Dalam konferensi tersebut, Arminsyah menyoroti terkait bursa tenaga kerja di negara-negara ASEAN yang menunjukan tren positif dan meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan masifnya perputaran sektor ekonomi rill masyarakat, pembangunan infrastruktur serta menggeliatnya industri manufaktur di dunia termasuk kawasan Asia Tenggara.
Tenaga Kerja asal Indonesia sendiri tercatat mencapai 3,539 juta orang yang mencari nafkah penghidupan di luar negeri. Untuk itu, pemerintah Indonesia telah meresponnya dengan elalu berupaya meningkatkan kualitas serta produktivitas tenaga kerja Indonesia agar memiliki daya saing yang mumpuni.
Namun pada sisi yang lain, yang juga turut menyita keprihatinan kita bersama adalah masih bermunculannya tenaga kerja yang berasal dari prosedur perekrutan yang ilegal, sehingga mereka selalu menjadi korban dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab demi mendapatkan keuntungan semata. Keprihatinan tersebut sangat beralasan, terlebih ketika The United Nations Office on Drug and Crime (UNODC) melansir laporan yang berjudul Transnational Organised Crime in South East Asia: Evolution, Growth and Impact yang menggambarkan bahwa hampir tujuh puluh persen korban perdagangan manusia khususnya di kawasan Asia Tenggara adalah anak-anak dibawah umur.
Kejahatan ini tentu saja memiliki dampak fisik maupun psikis dan meninggalkan pengaruh yang buruk dalam kehidupan korban. Atas dasar fenomena tersebut, Arminsyah memandang perlunya langkah nyata nyata dari seluruh negara-negara anggota ASEAN dan China untuk memberantas setiap macam bentuk perdagangan manusia sampai keakar-akarnya dan menjadikannya sebagai musuh bersama.
Menurut Arminsyah, tindak pidana perdagangan orang ibarat fenomena gunung es dimana dibawahnya terdapat beragam persoalan yang belum sepenuhnya tuntas, seperti kemiskinan, terbatasnya lapangan kerja, rendahnya kualitas pendidikan dan keterampilan yang dimiliki sehingga dalam realitasnya selalu mendorong orang-orang untuk mencari sumber penghidupan yang layak bahkan sampai harus ke luar negeri, dimana pada akhirnya tidak sedikit diantara mereka justru terjebak kedalam bentuk-bentuk perdagangan manusia, seperti perbudakan, penyelundupan, termasuk eksploitasi secara seksual. Di samping itu, semakin bervariannya inovasi dibidang teknologi informasi turut menjadi sebab bermunculannya modus operandi baru yang tidak kalah rumit, pelik, kompleks, dan semakin memberikan peluang dan kesempatan bagi para pelaku melakukan aksi jahatnya.
Sebagai bentuk respon atas kondisi tersebut, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah sejak lama mengambil kebijakan strategis dengan menyusun dan menetapkan regulasi seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Peraturan-peraturan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh masing-masing Pemerintah Daerah dengan menerbitkan Peraturan Daerah. Selain itu, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi internasional menyangkut pemberantasan perdagangan orang, salah satunya yaitu ASEAN Convention Against Trafficking In Persons, Especially Woman And Children melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2017.
Dalam Konferensi yang dibuka oleh Perdana Menteri Kamboja Samdech Akka Moha Sena Padei Techo HUN Sen, Arminsyah menyatakan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang dalam kurun waktu tahun 2018 sampai dengan september 2019 telah melakukan penuntutan terhadap kasus tindak pidana perdagangan orang dengan total sebanyak 101 (seratus satu) perkara. Pencapaian demikian menjadi bukti kalau Kejaksaan telah berupaya sungguh-sungguh dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang yang tergolong kejahatan serius.
Menurut Arminsyah, langkah Kejaksaan RI tersebut merupakan refleksi konsistensi dan tidak mengenal kompromi kepada setiap pelaku dengan menuntut pidana secara maksimal dan setimpal bagi para pelakunya sehingga menimbulkan efek jera dan enggan untuk mengulangi perbuatannya lagi. “Pemberian tuntutan maksimal terhadap pelaku kejahatan menjadi peringatan keras kepada sindikat kejahatan atau pelaku potensial lainnya agar tidak berspekulasi atau mencoba-coba melakukan perbuatan yang sama,” ujar Wakil Jaksa Agung.
Dalam sesi kedua konferensi Jaksa Agung China-ASEAN Ke-12, Arminsyah menyatakan bahwa bentuk upaya integral dalam memaksimalkan pemberantasan perdagangan orang dalam tahun ini, antara lain dengan melaksanakan program pelatihan terkait Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Berbasis Platform Digital Aplikasi E-Learning. Dibentuknya sarana tersebut bertujuan untuk memudahkan penegak hukum dalam transfer knowledge terkait dengan isu aktual seputar penegakan hukum tanpa dibatasi jarak dan waktu. Kemudahan lainnya yang didapatkan yaitu Jaksa atau aparatur penegak hukum lainnya dapat berpartisipasi secara aktif dan interaktif guna menggali sebanyak mungkin informasi dan pengalaman antar sesama penegak hukum maupun dengan pihak terkait lainnya, atas berbagai kendala terkini dan yang mungkin akan dihadapi sehingga muncul solusi yang tepat, terukur, dan aplikatif.
Pada akhir presentasinya, Arminsyah menyampaikan harapan sekaligus memberikan dorongan kepada seluruh negara-negara ASEAN dan China agar setiap bentuk kerja sama yang telah kita jalin selama ini harus dikembangkan dan ditingkatkan. Di samping itu, agar intensitas kerja sama dalam bentuk pelatihan dan pendidikan bersama aparatur penegak hukum negara-negara ASEAN dan China semakin digiatkan sebagai sarana untuk saling bertukar informasi dan pengalaman sehingga setiap penanganan dan penuntasan kasus-kasus kejahatan perdagangan manusia menjadi semakin efektif dan efisien.
Sebagai penutup, Wakil Jaksa Agung menyerukan kembali komitmen bersama para Jaksa Agung di kawasan ASEAN-China untuk meningkatkan koordinasi dan kerja sama hukum guna mewujudkan kawasan Asia Tenggara dan China yang bersih dari tindak kejahatan perdagangan manusia maupun kejahatan lintas negara lainnya.(*)