Oleh : Ivan Faizal Affandi
BERITABEKASI.CO,ID,Opini – 9 April 2014 silam warga Kota Bekasi telah mengikuti hajat demokrasi lima tahunan yakni pemilu legislatif (Pileg). Warga yang memiliki hak pilih berbondong-bondong menggunakan haknya, untuk memilih calon anggota legislatif (Caleg) dari tingkat DPRD Kota, DPRD Provinsi, DPR RI hingga DPD RI. Meski tidak semua warga datang ke bilik
suara,namun kita patut mengapresiasi partisipasi warga.
Namun sayang, partisipasi warga nampaknya tidak mendapat apresiasi sebanding. Baik itu dari kontestan dalam hal ini caleg dan partai politik (Parpol) serta penyelenggara dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bekasi plus perangkatnya mulai dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilih Kecamatan (PPK). Dan Panita Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Bekasi beserta jajaranya.
Kenapa kemudian kontestan serta penyelenggara bisa dikatakan tidak menghargai warga. Jawabanya sederhana, keduanya tidak bisa memastikan pemilu berjalan jujur dan adil. Bahkan ada indikasi bahwa terjadi kesengajaan untuk terciptanya pemilu yang tidak jujur dan tidak adil.
Fakta-fakta di lapangan setidaknya mengarah kepada indikasi tersebut. Kita lihat dari sisi peserta dalam hal ini Parpol ataupun Caleg. Pada proses tahapan pemungutan suara banyak Caleg terindikasi memainkan praktek money politik guna mempengaruhi pemilih. Ini jelas sesuatu yang tidak dibenarkan dan melanggar ketentuan. Anehnya, tidak ada pihak penyeleenggara yang ambil tindakan terhadap ini. Money politik dibiarkan berjalan dengan sangat banal tanpa pelakunya takut. Jika begitu yang terjadi maka secara tidak langsung hal itu sudah mencederai warga masyarakat.
Selain permainan money politik, adanya indikasi pengelembungan suara dengan cara memindahkan suara partai ke suara Caleg atau memindahkan suara Caleg yang satu ke Caleg yang lain dengan modus merubah isi formulir C1 melibatkan tangan pihak penyelenggara di tingkat bawah nyata-nyata perbuatan yang tidak dibenarkan.
Kejadian sudah terbukanya kotak suara di Keluarahan Kalibaru, Kota Bekasi setidaknya bisa menjadi indikasi ada upaya penggelembungan suara yang dilakukan salah satu pihak.
Repotnya, apa yang terjadi seolah tidak mendapatkan penanganan serius. Hingga saat ini misalnya, tidak ada sanksi yang dijatuhkan oleh penyelenggara pemilu. Hal itu kemudian menguatkan dugaan ada permainan yang direncanakan secara sistematis.
Lebih anehnya lagi, Parpol yang melihat hal itu sebagai bentuk pelanggaran serius seoalah diam begitu saja. Hingga pada akhirnya menimbulkan kecurigaan bahwa Parpol yang ada di Kota Bekasi memainkan semua praktik kotor tersebut.
Dengan melakukan pendekatan kekuasaan, ada kecurigaan kalau Parpol yang ada di Kota Bekasi sengaja secara bersama-sama melakukan tindakan permufakatan jahat guna mendapatkan kursi di parlemen secara siginifikan. Dengan asumsi, makin banyak kursi, maka peluang partai meraup kekuasan semakin tinggi.
Perolehan kursi juga membuat partai akan ambil peranan banyak dalam menentukan arah kebijakan pemerintahan, hingga hal-hal yang sifatnya politis, misalnya Pilkada. Dimana sarat untuk mengajukan calon Kepala Daerah pastilah butuh perolehan kursi yang signifikan.
Entah benar atau tidak, semua masih perlu pembuktian. Namun dari beberapa fakta yang mencuat kepermukaan, mestinya hal tersebut bisa dijadikan pintu masuk untuk mencari siapa pelaku pelanggaran pemilu atau dengan kata lain mafia pemilu. Disebut mafia karena pelanggaran yang ada terindikasi dilakukan secara sistemik.
Pihak berwenang dalam hal ini mesti serius mengusut persoalan tersebut dan jika terbukti siapa yang bermain maka mafia pemilu wajib ditindak tegas. Mereka wajib ditangkap karena telah menyalahi aturan undang-undang yang berlaku.
Pertanyaanya, bisakah pihak berwenang dalam hal ini penyelenggara melakukan hal tersebut. Jika ternyata penyelenggara terlibat dalam skenario kotor tersebut.