RUU Pilkada, Sebuah Ikhtiar Mengoreksi Sistem

foto_ruu_1Lewat pemilihan langsung pula, diharapkan lahir pemimpin yang memang punya komitmen besar memajukan daerah, serta sosok yang benar-benar prorakyat, sebab dipilih langsung oleh rakyat. Namun, pada perjalanannya Pilkada secara langsung banyak menuai kritikan. Salah satunya, tentang ongkos politik yang membumbung tinggi. Politik transaksional pun tak terhindarkan. Praktik mahar politik pun seakan menjadi hal yang lazim. Setidaknya, kasus Ahmad Fathanah, mengkonfirmasikan hal itu. Dalam proses pengadilan, terungkap ‘mahar’ politik menjadi sesuatu yang lumrah dalam memuluskan pencalonan. Dan, itu diakui oleh Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Program lain yang muncul seiring diterapkannya Pilkada langsung adalah menguatnya praktik politik dinasti. Kekuasaan pun seperti warisan keluarga. Suami pensiun jadi kepala daerah, sang istri yang maju kegelanggang. Atau sang bapak menjadi gubernur, anak pun menjadi bupati atau walikota. Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah Saleh Daulay mengatakan, politik dinasti rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Apabila, dengan pemilihan yang berbiaya mahal. Maka, potensi untuk melakukan korupsi kian besar. “ Ini menjadi persoalan tersendii dari pemilihan kepala daerah secara langsung,” kata Saleh. Saleh pun setuju bila Pilkada langsung dikoreksi atau dievaluasi. Mahalnya ongkos politik adalah salah satu aspek yang mesti dikoreksi. Mesti ada sebuah rumusan, agar kampanye politik dalam ajang Pilkada dibuat semurah mungkin, tanpa menghilangkan esensi dari demokrasi itu sendiri.
Pilkada secara langsung juga melahirkan fenomena pecah kongsi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Bulan madu antara keduanya hanya seumuran jagung. Yang terjadi adalah rally persaingan diantara mereka. Alhasil, birokrasi menjadi korban, Kepala daerah dan wakil kepala daerah sibuk menyusun strategi demi ambisi berkuasa di Pilkada berikutnya. Tentang cepatnya bulan madu kepala daerah dan wakil kepala daerah memuter, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi punya cerita. Menurut mantan Gubernur Sumatera Barat itu, mungkin hanya 6,15 persen duet pasangan kepala daerah dan wakilnya yang berujung dan bertahan dan pemilihan berikutnya. Sementara sisanya sekitar 94 persen. Pecah kongsi alias bersaing di Pilkada. Atas kondisi itulah, kemudian dalam RUU Pilkada yang diusulkan pemerintah, dimasukan klausul, untuk pasangan calon tak lagi satu paket. Atau, Pilkada nantinya hanya diikuti oleh calon kepala daerah saja. Tak seperti sekarang, satu paket pasangan calon, kepala daerah dan wakil kepala daerah. Artinya, wakil kepala daerah tak lagi dipilih langsung.
Pendapat tak jauh berbeda diungkapkan oleh Staf Ahli Mendagri Bidang Politik Hukum dan Hubungan Antar Lembaga Reydonnyzar Moenek. Menurutnya, fenomena pecah kongsi antara kepala daerah dan wakilnya, otomatis cukup mengganggu efektifitas penyelenggaraan pemerintahan didaerah. Apalagi, bila itu dibumbui oleh persaingan politik terselubung yang turut menyeret birokrasi. “Ya cukup mengganggu,” kata Reydonnyzar. Sementara terkait isu krusial yang diatur dalam RUU Pilkada, kata Reydonnyzar, memang seputar mekanisme pemilihan. Dalam pembahasan dengan DPR, berkembang empat opsi format pemilihan kepala daerah. Pertama, kepala daerah dipilih lewat perwakilan di DPRD. Kedua, pemilihan gubernur dan bupati serta walikota tetap dipilih langsung. Ketiga, gubernur dipilih langsung, sementara bupati dan walikota dipilih DPRD. Dan keempat, gubernur dipilih DPRD, sedangkan bupati dan walikota dipilih langsung. “Ya, ada empat opsi di DPR,”katanya. Di sisi lain, efektifitas Pilkada langsung juga perlu dipertimbangkan terkait banyaknya kerusuhan atau konflik yang muncul akibat Pilkada. Berdasarkan catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), ada 3.500 kasus kisruh Pilkada dan 50 orang meninggal dunia akibat hajatan Pilkada.
Dinasti Dalam Otonomi
Persoalan dinasti politik dinasti di daerah juga turut menghiasi perdebatan seputar RUU Pilkada. Akhir-akhir ini, persoalan politik dinasti menjadi perbincangan hangat bagi kalangan politisi dan pengamat. Politik dinasti di sejumlah daerah pun mulai terungkap ke publik. Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan, pemerintah sendiri, melalui Kemendagri berencana bakal membatasi praktik politik dinasti melalui RUU Pilkada. Sejumlah fraksi di DPR sesungguhnya sepakat perlunya pembatasan politik dinasti di daerah. “Pada prinsipnya, mayoritas fraksi di DPR, setuju politik dinasti, harus dicegah dan dibatasi, “kata Djohermansyah. Pemerintah beralasan, perlunya pembatasan politik dinasti adalah untuk menghindari penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan oleh incumbent. Tujuan lainnya, untuk mewujudkan kesetaraan bagi masing-masing calon yang bertarung dalam Pilkada sekaligus untuk melindungi hak konstitusional semua warga negara Indonesia. Pembatasan politik dinasti, kata dia, diusulkan bagi calon yang terbukti memiliki hubungan ikatan perkawinan dan garis keturunan keatas, ke bawah dan ke samping. Mereka yang mempunyai ikatan kekerabatan seperti itu, wajib mengundurkan diri sebagai calon. “Ketentuan politik dinasti ini bukanlah pelarangan politik dinasti, tapi hanya memberikan pembatasan saja,”ujarnya.
Sumber :Media Praja-Kemendagri