Renungan Kota Bekasi Dalam Hari Anti Korupsi Internasional

Didit Susilo (praktisi kebijakan dan pelayanan publik Bekasi)
Didit Susilo (praktisi kebijakan dan pelayanan publik Bekasi)

9 Desember 2014 merupakan peringatan Hari Anti Korupsi Internasional (HAI). Upaya pemberantasan korupsi dan meminimalisir tindak pidana korupsi terus dilakukan serta disuarakan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi, Kejari Bekasi dan penggiat anti korupsi. Namun, upaya mengurangi korupsi alih-alih berkurang, akan tetapi malah muncul ke permukaan, mulai dari pungli, sogokan, memelintir anggaran APBD, mengurangi volume pekerjaan kontruksi, mengakali anggaran untuk kepentingan pribadi dan terang-terangan menyunat anggaran.
Pemkot Bekasi sudah melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir perilaku negatif korup dengan Pakta Integritas, Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP), Kawasan Bebas Korupsi, Ikrar Kesetiaan dan lain-lain. Tapi kasuistik yang terjadi dengan gemuknya struktural birokrasi perilaku itu sulit dihapus terlebih pada tingkat pelayanan publik yang berhadapan langsung dengan masyarakat yang masih meminta imbalan (pungli).
Belakangan ini masih banyaknya pengaduan masyarakat terkait tingkat pelayanan seperti pengurusan ijin di BPPT, ijin domisili (Surat Keterangan Domisili Usaha-SKDU) di Kelurahan Margahayu dan kelurahan lainnya, semrawutnya kasus K2 (Tenaga Kerja kontrak) yang konon banyak terjadi sogok menyogok.
Sebelumnya kasus-kasus korupsi terus mengemuka dan menyundul ke permukaan seperti kasus Gurdacil (Guru Daerah Terpencil), penyunatan dana Linmas, kasus korupsi telematika, kasus dana BOS SD dan berbagai temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jabar sehingga terjadi kelebihan pembayaran dan harus dikembalikan ke kas daerah. Sedikit banyak temuan tersebut membuat Kota Bekasi terus-terusan mendapat predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Kebocoran daerah terus saja terjadi terutama pada pembangunan proyek infrastruktur. Proses tender LPSE dan penunjukan langsung (PL) ternyata belum mampu menekan terjadinya kebocoran anggaran yang dilakukan dengan cara mengurangi volume pekerjaan. Proyek fisik yang dikerjakan banyak terjadi penyimpangan tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan dan Rencana Anggaran Biaya (RAB). Sehingga baru saja dikerjakan berbagai proyek fisik tersebut ditemukan banyak mengalami kerusakan. Secara tidak langsung merugikan masyarakat sebagai obyek yang merasakan langsung pembangunan daerah. Alokasi uang APBD untuk pembangunan proyek fisik tersebut menjadi tidak optimal dan memperlambat pemerataan pembangunan.
Hingga saat ini, praktik korupsi sudah tidak bisa ditolerir. Korupsi bukan sekadar isu seksi bagi media massa, melainkan harus dikupas habis-habisan. Ekspos guna memotret perjuangan melawan korupsi, telah melibatkan insan pers sebagai bagian yang integral dari kelompok yang jujur melawan ketidak jujuran khususnya, para pelaku korupsi.
Selama ini upaya pemberantasan korupsi di daerah ibarat kerja petugas pemadam kebakaran. Jika asap membubung tinggi dan api hampir menghabiskan bangunan baru dilakukan pemadaman. Berbagai upaya pencegahan belum mampu menanamkan sikap anti korupsi dimulai dari hal yang terkecil. Dalam kenyataannya, praktik korupsi sekecil apapun masih terlihat dan kerap ditemui di sekitar kita.
Ironisnya, kebiasaan yang permisif di institusi lembaga manapun seakan tak kunjung berubah dan masih terjadi.  Selain itu masih banyak lagi sederet bukti praktik korupsi berskala relatif kecil disinyalir masih berlangsung terjadi secara berulang kali. Pasalnya, praktik yang dianggap sepele itu, akhirnya terbiarkan begitu saja hingga mengabaikan etika publik malah dianggap sudah biasa.
Seberapa banyak kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) yang terungkap sekaligus ditindaklanjuti? Seiring makin mendalamnya pemahaman atas dampak korupsi, maka beban berat memberantas korupsi kini langsung beralih kepada para institusi penegak hukum yaitu Kejari Kota Bekasi.
Korupsi  juga dikaitkan dengan orang yang menggunakan kedudukan atau kepercayaan yang diemban untuk mendapatkan keuntungan secara tidak jujur. Korupsi memang menjadi musuh bersama, alhasil semakin banyak pemimpin eksekutif yang notabene selaku pengguna dan pengelola anggaran di pemerintahan yang diadili atas dugaan tipikor. Mereka yang jadi pesakitan itu, setelah diadili dan dinyatakan bersalah bakal menghadapi konsekuensi logis dan hukum.
Korupsi merupakan salah satu virus yang telah be-reproduksi sejak lama dalam kehidupan bangsa. Virus ini seakan terbudidaya dengan sendirinya oleh tindak-tanduk beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab dalam hal ini yaitu para koruptor. Koruptor berdasarkan pasal 2 UU no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dapat diartikan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain (perseorangan/korporasi) yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Jadi, jelaslah bahwa tindak pidana korupsi merupakan kegiatan yang sangat memberikan dampak buruk bagi negara.
Tindakan yang melanggar pasal 2 UU no. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi tampak jelas bukan hanya di mata masyarakat namun juga di mata keluarga, kerabat dan privasi. Karena tindakan beberapa oknum yang melakukan tindak pidana tersebut, masyarakat pun merasakan dampaknya. Masyarakat yang tidak tahu-menahu tentang aktivitas kepiawaian para koruptor dalam pengurasan uang negara, ikut-ikutan melarat. Mereka yang setiap tahunnya mengumpulkan uang untuk membayar pajak pada negara, namun ternyata uang tersebut hanya disalahgunakan oleh segelintir oknum yang tak bertanggung jawab.
Formasi paradigma masyarakat terbentuk seiring berjalannya waktu. Secara sosiologis, keresahan masyarakat terhadap korupsi berdampak pada kemerosotan tingkat kepercayaan mereka pada stakeholder. Masyarakat yang seharusnya percaya pada stakeholder, kini tak lagi percaya sepenuhnya karena terinfeksi maraknya berita korupsi yang sedang merajalela. Selain itu, para stakeholder yang bersih dari korupsi pun tak luput dari pencitraan buruk dari masyarakat. Hanya karena segelintir oknum yang melakukan korupsi, stereotip pun seakan lahir dalam paradigma masyarakat bahwa semua stakeholder patut diwaspadai.
Bukan hanya pemerintah yang bertanggung jawab dalam mengatasi masalah ini tetapi juga peran serta masyarakat sangatlah dibutuhkan. Kerjasama antara pemerintah dan berbagai pihak dalam proses pemberantasan korupsi telah diupayakan semaksimal mungkin mulai dari pencegahan, penindakan, hingga pengaplikasian peran serta masyarakat. Pertama, salah satu contoh pencegahan yang dilakukan yaitu dengan menumbuh kembangkan kesadaran anti korupsi dalam jiwa-jiwa penerus bangsa.
Untuk itu sejatinya berperilaku korup seperti pungli, meminta imbalan, sogok-menyogok, mengurangi anggaran APBD, menyunat anggaran dan potensi lain yang menyebabkan kebocoran anggaran daerah merupakan perbuatan yang menyengsarakan masyarakat Kota Bekasi. Sebab jika anggaran bocor pemerataan pembangunan yang dibiayai APBD akan terlambat, masyarakat yang mempunyai hak merasakan pembangunan menjadi korban ‘kejahatan anggaran’.
*Oleh: Didit Susilo (praktisi kebijakan dan pelayanan publik Bekasi).