Oleh : Drs. Ahadi Yuliasmono,M.Si
(Penulis adalah PNS Pemkab Bekasi, Magister Ilmu Hubungan Internasional UI)
“Public Relations is the art of bringing about better public understanding which breeds greater public confidence for any individual or organization.” (Howard Borham, Vice President American National Red Cross )
Dalam konteks Public Relations atau humas seperti pemahaman Howard Borham itu, maka acungan jempol layak kita berikan kepada Johan Budi, juru bicara KPK. Meminjam istilah di facebook, seribu satu ‘likes’ juga layak kita berikan kepada petinggi Bidang Humas Polri, Brigjend Boy Rafli Amar dan Kombes Rikwanto, terlepas dari banyaknya persoalan di tubuh Polri yang memancing perhatian masyarakat.
Jika kita lihat di layar kaca televisi, saat talkshow, konperensi pers, atau ketika dikerubuti puluhan awak media, ketiganya secara personal mampu merefleksikan 4 Cs ; competency (kompetensi pribadi selaku pejabat humas), clearance (kejelasan informasi), connection (jaringan informasi), dan commitment (komitmen untuk melayani kepentingan umum). Singkatnya, tupoksi (tugas pokok dan fungsi) bidang humas dari lembaga atau institusi pemerintah, yaitu KPK dan Polri, berhasil mereka improvisasikan dengan nyaris sempurna. Sebagai perbandingan, dari sektor korporat adalah PR Sinar Mas Grup dengan jubirnya Yan Partawijaya, mantan penyiar senior TVRI. Di tangan Yan Partawijaya, pamor Sinar Mas Grup lebih ‘bersinar’.
Lalu, bagaimanakah humas pemerintah di tingkat lokal atau Pemda ? Humas Pemprov DKI Jakarta nyaris tenggelam oleh popularitas Jokowi-Ahok. Awak media lebih senang mengkonfirmasi segala permasalahan langsung pada Jokowi-Ahok, karena memang dengan sikapnya yang terbuka, jujur, apa adanya, keduanya sudah menjadi jubir atau PR yang handal bagi Pemprov DKI.
Namun di tingkat yang lebih lokal, di luar Jakarta, Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi, pada tahun 2006 pernah menyebutkan sejumlah Pemkab atau Pemkot yang berhasil meningkatkan kualitas pelayanan publiknya melalui bidang humas, antara lain Kabupaten Jembrana, Kabupaten Sragen, Kota Balikpapan dan Kota Tarakan.
Catatan-catatan tentang apa dan bagaimana, keberhasilan, kekurangan, hambatan dan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh humas Pemda juga muncul pada saat acara Bakohumas Nasional Indonesia Bagian Barat dan PIN (Pekan Informasi Nasional) di Medan minggu keempat bulan Mei tahun lalu. Dari obrolan ringan dan ‘curcol’ para peserta kegiatan, baik pada saat sesi diskusi maupun saat rehat, paling tidak ada lima kesimpulan atau persamaan persepsi mengenai berbagai permasalahan maupun keberhasilan humas Pemda.
Pertama, humas Pemda yang maju, ‘mandiri’ dan mampu menjalankan tupoksinya secara cerdas, efetif, efisien dan ‘berwibawa’ di kalangan media maupun internal Pemda itu sendiri adalah humas yang tupoksinya di Bagian Humas Sekretariat Daerah. Dengan hirarki yang pendek, langsung dari dan ke Bupati, Wali Kota atau Sekda, mobilitas dan diseminasi informasi dari Bagian Humas akan lebih cepat terlaksana dan mencapai sasaran. Atas nama kepentingan pimpinan atau Kepala Daerah, seorang Kabag berhak ‘memerintahkan” para kepala SKPD untuk secepatnya memberikan masukan informasi atau dokumen yang diperlukan. Seorang Kabag Humas juga bisa menjadi spokeman atau jubir lembaga atau instansinya.
Sebaliknya, sulit dibayangkan, bagaimana tupoksi humas dijalankan di Bidang Humas dan berada di dalam dinas, misalnya di Dishubkominfo atau Diskominfo. Kondisi dan kinerjanya jelas berbanding terbalik dengan Bagian Humas di lingkup Setda. Contoh nyata, adalah Bagian Humas Kota Bekasi, yang juga menjadi PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Informasi). Dengan jumlah dan kualitas sarana dan SDM yang memadai, termasuk untuk awak media, Kota Bekasi tahun lalu memperoleh penghargaan PPID Kota Terbaik dari Kementerian Dalam Negeri.
Kedua, seiring dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1990 tentang Pers, dan kebebasan di era reformasi yang dianggap ‘kebablasan’, banyak Pemda yang ‘kewalahan’ dengan menjamurnya ratusan media lokal, wartawan ‘bodrex’ dari media ‘tempo’, tempo hari terbit, tempo hari kagak. Diakui, ada sejumlah media dan wartawan lokal yang professional, tetapi hampir di semua lingkungan Pemda, tetap saja lebih banyak media dan awak media yang ‘abal-abal’, yang datang dan pergi, berseliweran di lingkungan Pemda tanpa etika dan memahami kesibukan kerja pejabat.
Ketiga, adanya ‘anomali’ di lingkungan Pemda. Di era reformasi dan kemajuan teknologi informasi yang menjadikan media, informasi atau berita adalah ‘Raja’, masih banyak yang mengesampingkan atau tidak menganggap penting masalah informasi dan kehumasan. Jauh berbeda dengan Pemkab Bekasi, sejumlah Pemda memberikan anggaran dan sarana ‘ala kadar’nya untuk bidang atau bagian humas. Tupoksi dan jabatan struktural di Humas juga dianggap ‘nggak penting’ dan siapapun bisa jadi pejabat humas. Akibatnya, banyak bidang atau bagian humas yang BTG, “Bisu, Tuli, Gagu”.
Keempat, terkait dengan masalah ketiga di atas, adalah masalah profesionalisme kehumasan. Selain masalah sarana prasarana dan humas yang ‘bisu tuli gagu’, ada tiga masalah serius lainnya yang menyangkut profesionalime kehumasan, yaitu; pranata humas pemda (struktur dan tenaga fungsional pranata humas), networking (jaringan informasi antar humas Pemda, nasional maupun internasional), dan kesejahteraan pejabat dan staf humas ( mobilitas kerja humas seperti wartawan yang tidak mengenal istilah jam kerja, tapi tidak ditunjang dengan tambahan penghasilan).
Kelima, posisi humas Pemda seringkali terjepit oleh sejumlah benturan, antara lain ; kepentingan politik lokal sejumlah pihak, antara kepentingan menjaga citra atau nama baik lembaga dengan kebebasan pers yang sulit dibendung, dan antara kepentingan menjaga kearifan lokal dan masuknya budaya luar yang lebih pragmatis.
Dari lima kesimpulan atau persoalan yang mengemuka itu, jelas tergambar bahwa pada era otonomi daerah ini, tidak ada aturan baku dari pemerintah pusat mengenai SOTK (Susunan Organisasi dan Tata Kerja) Pemda, termasuk mengenai posisi dan tupoksi bidang atau bagian humas. Akibatnya, ketika keterbukaan informasi publik sudah menjadi keniscayaan, dan ketika informasi menjadi ‘Raja’, humas Pemda harus menerima nasib; beruntung menjadi garda terdepan Pemda, atau terpuruk tanpa peran dan makna. Maka pertanyaannya : Quo Vadis Humas Pemda ? Mau dibawa kemanapun terserah, tergantung pada political will dan pemahaman penguasa tentang artinya pentingnya Humas atau PR.
Last but not least, apresiasi yang tinggi layak kita berikan kepada Bupati Bekasi yang menerima masukan dari sejumlah pihak, termasuk dari kalangan pers, bahwa mulai tahun 2015 Bidang Humas akan dikembalikan menjadi Bagian Humas di lingkungan Sekretariat Daerah melalui Prolegda (Program Legislalsi Daerah). Satu lagi, yang sangat ditunggu oleh awak media adalah tersedianya press room atau media center.
Well, time will tell !