BERITABEKASI.CO.ID, BEKASI SELATAN- Jelang Pilpres 9 Juli yang sudah semakin dekat, suasana politik kian memanas oleh berbagai isu yang saling menyerang di antara kedua kubu Capres. Menyikapi hal itu, Direktur Pusat Kajian Peradaban Pancasila, Nanang Djamaludin mengaku prihatin atas upaya saling serang antara kedua kubu capres yang kian berpotensi chaos, dengan menggunakan bidikan isu-isu murahan bertendensi SARA ataupun bermuatan fitnah, yang bertujuan pembunuhan karakter seseorang atau kubu tertentu.
Menurutnya, penggunaan isu bermuatan SARA dan fitnah tersebut menjadi sulit terdeteksi siapa yang memicu lebih dulu. Pasalnya, kedua kubu bisa dipastikan tak sudi untuk dituding sebagai pihak yang pertama kali memprovokasi, lewat reproduksi isu bermuatan SARA atau fitnah. Dan jika ternyata isu bermuatan SARA dan firnah itu justru berasal dari masing-masing kubu yang berkontestasi dalam Pilpres ini, tentu akan sangat memprihatinkan bagi latihan pendewasaan peradaban politik serta kematangan berdemokrasi yang ingin dibangun.
“Jika itu yang terjadi, maka itu mengkonfirmasi bahwa kedua pihak hanya siap untuk menang saja tapi tak siap untuk kalah. Akhirnya segala cara digunakan, meski berpotensi menimbulkan porensi chaotik bagi persatuan dan kesatuan diantara sesama anak bangsa,” katanya, saat berbincang-bincang kepada beritabekasi.co.id, Kamis (3/07/2014).
Di samping itu, kata dia, tak menutup kemungkinan jika isu-isu SARA itu, justru direproduksi dan dimainkan oleh pihak lain diluar kedua kubu Capres. Tujuannya untuk menciptakan kekeruhan situasi politik, menuju ke arah konflik sosial yang meluas diantara sesama anak bangsa, demi mempertahankan dan perluasan penguasaan aset-aset strategis bangsa Indonesia.
“Hanya dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia yang terbelah dalam berbagai konflik yang meluas saja, maka tujuan mereka mempermanenkan penguasaan aset-aset strategis dan kekayaan Indonesia, bisa dilakukan,” paparnya.
Nanang menegaskan, refleksi masyarakat atas terus menguatnya potensi konflik dan chaotik lewat pagelaran Pilres ini adalah, betapa amandemen UUD yang diantaranya telah merontokkan MPR sebagai kekuasaan tertinggi negara, bukan saja telah melapangkan jalan bagi praktek Pemilu liberal yang berbiaya mahal, sehingga mengundang pendanaan besar dari pihak-pihak yang punya kepentingan ekonomi politik bagi diri dan kelompoknya. Tapi hal itu juga telah mendorong pembelahan anak bangsa sedimikian rupa, sehingga memungkinkan masing-masing kubu atau kelompok berdiri di titik paling ekstrim yang paling memungkinkan bagi keduanya berkonflik secara chaotik.
“Situasi seperti itu justru tak menguntungkan bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Sebaliknya, hal itu hanya akan membuat sorak-sorai kalangan kapitalis penghisap aset-aset dan kekayaan bangsa kita, beserta para konpradornya di dalam negeri,” tegasnya.
Nanang juga mengungkapkan, provokasi pemberitaan yang dituding sebagai fitnah oleh pimpinan PDI Perjuangan melalui Sekertaris Jendral (Sekjen) DPP PDIP, Tjahjo Kumolo harus direspon lewat penggunaan jalur hukum, yakni dengan melaporkannya pada Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
“Hal ini penting guna mengedepankan keadaban yang digariskan oleh UU ketika merespon sebuah informasi, terlebih informasi bermuatan fitnah yang merugikan, oleh media massa atau media penyiaran publik,” pungkasnya. [bam]