BERITABEKASI.CO.ID, Bekasi Timur – Dalam kajian dan pemantau Bekasi Parliamentary Center (BPC) Bekasi, Pemilu/Pinleg di Kota Bekasi dan semua Daerah Pemilihan (Dapil) kali ini money politics atau politik uang Wani Piro Nomer Piro?, benar-benar vulgar, kasar dan terang-terangan. Modus operandi tertata hingga tingkat jaringan pemilih secara masif. Sistem pemilihan proporsional terbuka dengan suara terbanyak menjadi penyebab maraknya politik wani piro.
Caleg berkompetitor dengan satu partai tidak malu-malu lagi untuk menebar uang dengan alasan untuk ‘memagari pemilih’. Bahkan isu isu apapun sudah tidak mempan mempengaruhi pemilih justru yang paling penting memberikan uang cendol untuk pergi ke TPS.
“ Ya itulah realitanya karena parpol gagal melakukan pendidikan politik yang baik. Justru asumsi pemilih sering digerakkan oleh perilaku buruk politisi akir-akir ini. Sehingga pemilih apatis dan masa bodoh terjangkit pada pemilih rasional golongan menengah ke atas,” jelas Direktur Bekasi Parliamentary Center (BPC) Didit Susilo, Minggu (20/4/2014).
Para pendatang baru (caleg new comer) sadar betul peraih suara personal terbanyak yang akan mendapatkan kursi jika kuota suara mencukupi BPP kursi atau sisa suara. Persaingan ini membuka kompetisi yang tidak sehat dan merusak demokrasi. Karena vulgarnya caleg satu partai-pun saling intip dan curiga melakukan manuver untuk saling membusukkan.
“Hampir semua Dapil marak politik serangan fajar dan yang paling parah Dapil 2 (Kec Rawalumbu,Mustika Jaya dan Bantar Gebang). Tapi sepertinya pemilih juga membuka ruang untuk praktik politik uang sehingga Panwas sulit mencari barang bukti,” katanya.
Transaksi calon pemilih ini terjadi bukan dalam ‘operasi senyap’ namun sudah di atas permukaan dan melibatkan para tokoh tingkat bawah (greesroot). Ibarat kata ada amplop ada suara. Maraknya politik uang menjelang pemungutan suara anatar H-3 dan H-1 (masa tenang). Politik uang itu mengakibatkan perilaku pemilih berubah dan basis kantong partai goyah (swing voter). Banyak pemilih yang menanyakan serangan fajar dan uang es. ” Rata-rata uang amplop yang beredar pada kisaran Rp3 hingga Rp 5 miyar per Dapil. Per amplop itu kisaran Rp 50.000 hingga Rp. 100.000 . Tapi lagi-lagi itu hanya estimasi karena secara kasat mata terlihat namun sulit dibuktikan,” jelas Didit.
Menurutnya, inisiatif caleg menjadi salah satu penyebab maraknya praktik politik uang. Pasalnya, caleg yang paling berkepentingan mendapatkan dukungan suara untuk memenangi pemilu. Kondisi itu juga membuka peluang bagi para pemilih untuk menjual suara kepada para caleg. Buktinya, tidak sedikit warga yang secara terbuka meminta uang kepada caleg. Bahkan, terang-terangan menunggu ’’serangan fajar” dari para caleg. Caleg atau tim sukses tidak akan bcrani membagi-bagikan uang jika ada penolakan dari masyarakat ’’Jadi, memang transaksional suara ini terjadi karena caleg menawarkan dan pemilih juga meminta,” ujarnya.
Di sisi lain, honor petugas penyelenggara pemilu mulai dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), hingga Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) tidak berubah. Rendahnya honor itu ditengarai juga membuka peluang para petugas penyelenggara pemilu melakukan penyelewengan, seperti dugaan memanipulasi suara. Para caleg bisa menawarkan imbalan besar kepada petugas dengan kompensasi menggelembungkan suara.
“Sistem Pinleg ‘tarung bebas’ seperti ini sangat menciderai demokrasi dan pasti pemilih tersandera lima tahun mendatang, namun siapa yang peduli,” kata dia.
Dalam kajiannya, ketidaktegasan penyelenggara pemilu (Panwas dan KPU Kota Bekasi) sebagai penyebab maraknya praktik politik uang. Selama ini tidak ada sanksi tegas yang diberikan penyelenggara pemilu kepada pihak-pihak yang melakukan politik uang.
’’Seharusnya penyelenggara, baik KPU maupun Panwaslu, bertindak tegas terhadap temuan politik uang di lapangan,” tuturnya.
Para caleg yang terbukti melakukan politik uang selama kampanye semestinya diberi sanksi pembatalan pencalonan. Begitu pula bagi caleg terpilih yang terbukti melakukan politik uang seharusnya di-diskualifikasi sesuai Undang-Undang No.8 Tahun 2012. Pembatalan caleg yang terbukti melakukan politik uang setelah diproses di pengadilan itu tercantum dalam pasal 220 dan untuk sanksi pidananya diatur di pasal 301. “Tapi laporan dari masyarakat sebagai syarat formil dan materil siapa yang mau,” pungkasnya.