Politik Chauvinisme, "Senjata politik terbaik adalah teror. Kebengisan membuat orang hormat"

Henu Sunarko
Henu Sunarko

“Senjata politik terbaik adalah teror. Kebengisan membuat orang hormat” –Heinrich Luitpold Himmler, komandan Schutzstaffel (SS) NAZI
Oleh: Henu Sunarko
Kostum Ahmad Dhani dalam video klip lagu “Indonesia Bangkit” yang menjadi media kampanye pasangan capres Prabowo-Hatta sontak mendunia. Pasalnya adalah media-media asing seperti Der Spigel, Situs Europe online magazine bahkan situs majalah Amerika; Time melansir berita soal penampilan pentolan grup musik Dewa itu. Adalah seragam ala NAZI yang menjadi tema besar soal ini. Ahmad Dhani menggunakan pakaian yang identik dengan seragam petinggi NAZI Heinrich Luitpold Himmler (komandan SS) pasukan elite NAZI dan tangan kanan pemimpin fasisme Jerman Adolf Hitler. Bukan hanya soal kostum, lagu Indonesia Bangkit dianggap juga bermasalah karena tanpa seijin pemilik lagu yakni Queen, band yang terlanjur tersohor seantero dunia itu. Bryan May -personil Queen- mengaku tak pernah dihubungi jika lagu yang mereka populerkan We Will Rock You digubah oleh Ahmad Dhani untuk kepentingan politik di Indonesia.
Sanggahan Ahmad Dhanipun terkesan meremehkan, seperti tertulis dalam akun twitternya @AHMADDHANIPRAST , “Kalo sy pake kalung bintang daud, awam anggap sy Yahudi… klo sy pake seragam Nazi, awam anggap sy Fasis… dasar awam tetep aja awam,” tulisnya. Sebagian pihak juga memberikan tanggapan yang kadar sensitifitasnya tak terjaga dengan mengatakan bahwa penampilan Ahmad Dhani harus dilihat dalam perspektif seni, lebih luas lagi sebagai bentuk kebebasan berekspresi.
Dalam momentum pencapresan sekarang ini, tentu semua mengandung muatan politik. Tak bisa dipungkiri lagu Indonesia Bangkit diproduksi sebagai alat kampanye, bukan dikomersilkan dan untuk memenuhi citarasa mendengarkan lagu. Sama halnya Slank, dkk yang mengeluarkan lagu Salam Dua Jari, nyata-nyata untuk kepentingan kampanye. Agak aneh jika ada pihak membuat pernyataan untuk melihatnya dalam proporsi seni semata.
Bila kita cermati dengan seksama, model kampanye pasangan capres yang mencoba menggali simpati bahkan empati publik pada romantika historis tentu akan menguatkan bahwa proses keseharian kita sebagai warga negara bermuara pada kepentingan 9 Juli, hari pencoblosan pilpres. Yang patut ditelaah ulang adalah, lahirnya sikap-sikap chauvinisme.
Dalam Wikipedia berbahasa Indonesia, Sauvinisme atau sovinisme (bahasa Inggris: chauvinism) adalah ajaran atau paham mengenai cinta tanah air dan bangsa (patriotisme) yang berlebihan. Makna ini kemudian diperluas hingga mencakup fanatisme ekstrim dan tak berdasar terhadap suatu kelompok yang diikuti. Istilah ini diambil dari nama Nicolas Chauvin, seorang prajurit setengah mitos pada zaman Napoleon Bonaparte, yang fanatik terhadap Kaisarnya meskipun Chauvin sendiri miskin, cacat, dan menerima perlakuan buruk.
Bisa jadi, gejalan chauvinistik ini terlihat jelas ketika seseorang begitu menggebu-gebu mengumandangkan jargon-jargon kebangsaan, slogan-slogan nasionalisme dengan bertengger diatas ketidakberdayaan bangsanya. Padahal itu hanya verbalistik semata, sebab kaedah ukurannya adalah prilaku seseorang itu sendiri. Patriotisme tak mesti lahir dari orasi yang berapi-api, membangkitkan memori publik ke era dimana kepemimpinan nasional memiliki sosok sekelas Bung Karno. Kecintaan pada tanah air lahir karena kepemimpinan yang mampu membangkitkan kesadaran kolektif rakyatnya, bukan membuka arsip sejarah lagu menapaktilasi, kemudian menduplikasi sebagai alat perjuangan politik masa kampanye saja.
Kasus Ahmad Dhani adalah bentuk ia tak memahami konotasi lambang dan simbol-simbol NAZI yang bisa mengundang trauma bagi rakyat Jerman. Apakah ia berani menggunakan lambang palu arit di kostumnya, lalu mengatakan awam kepada semua orang?. Chauvinistik inilah potret yang nyata dalam masa-masa kampanye, padahal hanya sebatas bualan dan hanya memenuhi kebutuhan pasar politik menuju kursi presiden.
Lepas dari itu semua, sebaiknya kita bisa memetik pelajaran penting bahwa konstestasi demokrasi janganlah dilacurkan dengan banyak kreasi politik yang justru tak mencerahkan, blunder dan chauvinisme.
*Penulis adalah juru bicara Gardu JOKOWI (Gerakan Dukung Jokowi)