Oleh : Drs.Ahadi Yuliasmono, M.Si
(Penulis adalah PNS di Pemkab Bekasi, Magister Ilmu Hubungan Internasional UI)
Rasanya khas permen Nano-nano; asem, manis, pedas. Itulah barangkali yang dirasakan oleh para pejabat dan staf Pemkab Bekasi sejak pemberlakuan Peraturan Bupati Bekasi Nomor 25 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Tambahan Penghasilan Pegawai di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bekasi. Sejak diberlakukan, meski tak muncul ke permukaan, sejumlah pro-kontra pun bermunculan mengiringi Perbup ini.
Perbup ini rasanya mungkin asem, atau campur pedas. Asem dan pedas, karena mungkin ada yang dongkol, sebab mereka mau tak mau harus rajin ngantor tiap hari, karena kalau absen atau bolos , maka jumlah tambahan penghasilan atau ‘reward’ dalam satu bulan akan berkurang dalam jumlah yang cukup signifikan. Pejabat Eselon IV, misalnya, kalau bolos kerja sehari bisa kehilangan pendapatan atau ‘reward’ yang diterimanya sebesar 250 ribu rupiah, atau lima juta rupiah per bulan. Seorang Kepala Dinas, penghasilannya bisa berkurang 750 ribu per hari, karena tambahan penghasilan mereka bisa mencapai lebih dari 15 juta rupiah per bulan. Plus, nggak enaknya, yang menjadi pejabat, mau nggak mau harus memberikan contoh atau teladan yang baik bagi anak buahnya.
Sedangkan mereka yang mendukung kebijakan ini, atau yang merasakan rasa manisnya Perbup ini, paling tidak punya dua alasan kuat. Pertama, naiknya pendapatan resmi mereka secara siginifikan. Kedua, adanya perbedaan hak dan penghargaan; yang rajin kerja dan berdedikasi tentu merasa layak mendapat tambahan penghasilan, dibandingkan mereka yang menjadi karyawan atau pejabat ‘tempo’, tempo hari ngantor, tempo hari kagak.
Hal itu selaras dengan dengan bunyi Pasal 2 ayat (b) dan (c) Perbup itu yang menyatakan bahwa tambahan penghasilan bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan disiplin, serta peningkatan sasaran kinerja Pegawai.
Jika kita analisa atau kita tinjau dari kajian ilmu Public Policy (Kebijakan Publik), paling tidak dapat kita wacanakan dua aspek. Pertama, adalah aspek kualitas dari kebijakan publik itu. Menurut Riant Nugroho dalam bukunya Public Policy (Edisi ketiga, Revisi, 2011) , kebijakan publik yang ideal, yaitu yang unggul, mempunyai tiga ciri utama, yang sekaligus dijadikan sebagai kriteria, yaitu:
1. Cerdas….memecahkan masalah pada inti persoalannya.
2. Bijaksana…tidak menghasilkan masalah baru yang lebih besar dari pada masalah yang dipecahkan.
3. Memberikan harapan…memberikan harapan kepada seluruh warga bahwa mereka dapat memasuki hari esok yang lebih baik dari pada hari ini.
Dari ketiga kriteria di atas, Perbup ini dapat kita nilai sebagai Perbup yang ideal, yang unggul. Mengapa demikian ? Perbup ini diprediksi akan mampu meningkatkan disiplin dan kinerja pegawai, sekaligus memberikan citra positif bagi para ‘abdi negara atau PNS yang selama ini dinilai oleh masyarakat sebagai kelompok elitis yang pemalas, dan kurang optimal dalam memberikan pelayanan publik. Diiringi oleh peningkatan pendapatan atau kesejahteraan pegawai, maka dapat diyakini bahwa Perbup ini tidak akan menimbulkan masalah baru atau masalah yang lebih besar. Bahkan sebaliknya, memberikan harapan kepada warga, khususnya para PNS di lingkungan Pemkab Bekasi untuk meningkatkan etos kerjanya.
Kedua, adalah aspek dari sisi manfaat kebijakan publik yang muncul dari lahirnya Perbup itu. Pelayanan publik jelas mensyaratkan satu hal yang utama dan pertama, yaitu keberadaan personil atau pegawai yang siap memberikan layanan publik. Maka, langsung atau tidak langsung, Perbup Nomor 25 Tahun 2012 ini memberikan penegasan dan landasan yang kuat bagi pelaksanaan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pasal 17 ayat (b) Undang-undang ini, misalnya, menyatakan bahwa “Pelaksana dilarang meninggalkan tugas dan kewajiban, kecuali mempunyai alasan yang jelas, rasional dan sah sesuai dengan peraturan perundangan.”
Dukungan Wakil Bupati.
Satu hal positif dari implementasi Perbup Nomor 25 Tahun 2012 ini adalah peran Wakil Bupati dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsinya utama) nya adalah pengawasan kegiatan pembangunan dan kinerja aparat Pemkab Bekasi. Sudah sangat sering kita baca di media cetak, Wakil Bupati, Rohim Minteraja, mengomentari dan memberikan evaluasinya tentang pelaksanaan kegiatan dan penyerapan anggaran. Terakhir yang kita baca, misalnya Wakil Bupati akan memanggil dan meminta klarifikasi dari Dinas Pendidikan dan BKD (Badan Kepegawaian Daerah) tentang dua orang oknum guru PNS yang diduga telah selama empat tahun sering mangkir dari tugasnya. Maka, bukanlah ‘pepesan kosong’ kalau kebijakan publik yang cerdas dari Bupati yang didukung oleh Wakil Bupati ini akan memiliki ‘multiflyer effects’, yaitu peningkatan kualitas pelayanan publik yang berimbas pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya, apa ?
Pernyataan dan pertanyaan sedikit ‘nakal’ dan menggelitik dari Perbup di atas salah satunya adalah “Asyikk..tunjangan naik, yang penting kan pagi apel, tanda tangan di kantor ? Beres deh…”. Esensi atau benang merah dari pernyataan dan pertanyaan ini adalah tentang kinerja dan beban tugas pegawai. Tentu saja, kita tak perlu emosi dengan kalimat nakal yang menanggapi Perbup yang konon merupakan konsep brilian dari Yan Yan, Sekretaris BKD ini.
Singkatnya, tidak sekedar urusan absen atau kehadiran pejabat atau karyawan di kantor, alangkah idealnya jika Perbup ini juga memuat tentang beban kerja atau beban tugas. Atau, ada Perbup lain yang menyusul atau sebagai turunan dari Perbup Nomor 25 Tahun 2012 ini, yaitu remunerasi, penghargaan atas beban tugas atau beban kerja.
Sebab, tak bisa dipungkiri, kinerja mayoritas para pejabat di Pemkab Bekasi layak diacungin jempol. Sebut, misalnya, dari kelompok pejabat senior, ada Herman Hanapi, MA Supratman, Oded dan Sutisno. Atau dari kelompok ‘anak muda’, selain Yan Yan, ada Agus Dahlan, Dedi Supriyadi, dan Endin Samsudin.
Apa yang belum ?
Ada satu anekdot nakal tentang Bekasi, baik Kota Bekasi maupun Kabupaten Bekasi. Katanya, “Membangun Bekasi itu gampang kok. Panggil aja para investor atau perusahaan asing, lalu kita absen mereka. Kamu, investor A,B,C,dan D saya minta
kalian bangun Kecamatan Muara Gembong, Tarumajaya, dan Cabangbungin. Yang lainnya, pilih sendiri kecamatan yang mau kalian bangun. Beres kan ?”
Meski terkesan agak menyepelekan, menggampangkan persoalan, atau Masbuloh (Masalah Buat Loh?), anekdot itu sesungguhnya merupakan sindiran yang sangat dalam. Anekdot itu ingin mengingatkan kita, bahwa Bekasi telah lebih dari 10 tahun menjadi lingkungan global, dengan ratusan atau bahkan ribuan multinational corporations (MNC) atau PMA (Penanaman Modal Asing), namun manfaatnya lebih banyak dirasakan oleh pemerintah pusat.
Padahal, dalam bukunya The Post American World, Fareed Zakaria menyoroti banyaknya NGO (Non Governmental Organization) bermunculan setiap hari pada setiap isu di setiap negara. Perusahaan-perusahaan, dan tentu saja modal, bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya, mencari tempat terbaik untuk berbisnis, memberikan penghargaan kepada sejumlah pemerintah, atau sebaliknya menghukum yang lain.
Melanjutkan pemikiran Fareed Zakaria itu, layak pula kita cermati pemikiran Agusti Fernandez de Lozada i Passols, yang menyatakan” It is important to remark that the foreign action of a local government has not always been necessarily determined by the international context. The existence of a foreign action in the city depends upon decisions adopted at local level. This means that, unlike states, local governments can deliberately and discretionally decide whether or not to establish international relations.”
Karena kita belum mampu menangkap peluang seperti yang dilontarkan oleh Fareed Zakaria dan Agusti Fernandez itu, maka jangankan buat rakyat Bekasi, untuk menggerakkan roda pembangunan atau mendukung PAD Pemda pun kontribusi MNC atau PMA sangat minim.
Konsep ideal dan peraturan perundang-undangan tentang CSR (Corporate Social Responsilbilty) jelas tidak ada dalam blue print atau Renstra (Rencana Strategis) Pembangunan Kota dan Kabupaten Bekasi. CSR berupa sumbangan ruang kelas sekolah, misalnya, tidak lebih dari sekedar basa-basi lipstick untuk menutupi dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Maka, sudah waktunya kita memiliki kualitas pemikiran yang ‘think globally, act locally’, berpikir global, dengan tindakan yang secara lokal fokus pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Berarti, sudah waktunya pula kita memiliki kebijakan publik yang cerdas, yang mondial dan mampu memberikan manfaat secara lokal untuk Kota dan Kabupaten Bekasi.
Well, anyway, kita tetap harus yakin dan optimis, Perbup Nomor 25 Tahun 2012, jika diikuti dengan kebijakan remunerasi yang berbasis kompetensi sumber daya manusia, maka akan pula melahirkan kebijakan publik lainnya yang unggul dan cerdas pula, termasuk kebijakan publik yang ‘think globally, act locally’, dan tidak menjadikan kita, rakyat Bekasi seperti ‘katak dalam tempurung’ alias ‘jago kandang. Tentu, yang kita maksud adalah kebijakan publik seperti permen Nano-nano, tapi dengan satu rasa saja, yaitu rasa manis.