Di setiap penghujung Ramadhan, ummat Islam dianjurkan untuk lebih meningkatkan ibadah kepada Allah SWT. salah satu hikmahnya, karena pada 10 malam terkahir itulah, ada lailatul qadar. Suatu malam yang Allah sebut sebagai lebih baik daripada 1.000 bulan.
Bayangkan, betapa dahsyatnya Ramadhan. Dalam 10 hari terakhir bulan yang penuh berkah ini, ada satu malam yang nilainya lebih baik dibandingkan 1.000 bulan. Satu malam yang keutamaannya mengungguli 83,3 tahun. Subhanallah…
Tentang lailatul qadar ini banyak sekali literatur yang menjelaskan. Masing-masing berupaya mengungkap tanda-tanda, isyarat, dan keutamaannya. Setiap penjelasan, baik lewat para penceramah maupun bacaan, sifatnya saling melengkapi.
Satu hal yang menjadi benang merah dari beragam uraian tentang lailatul qadar adalah, semuanya merujuk pada kerinduan dan keinginan yang teramat dalam untuk memperoleh malam yang lebih baik daripada seribu bulan.
Amalan-amalan Rasulullah
Jangankan kita yang kadar dan kualitas keimanannya masih jauh di bawah banderol, sedangkan para sahabat Rasul SAW yang mulia pun berlomba-lomba untuk meraihnya. Bagaimana mungkin para sahabat berleha-leha menjelang berakhirnya Ramadhan, sementara mereka melihat sendiri bagaimana Muhammad SAW. Kekasih Allah yang maksum pun menghidupkan 10 malam terakhir Ramadhan.
Dari Ummul Mu`minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia mengisahkan tentang apa yang dilakukan Nabi SAW pada 10 terakhir Ramadhan:
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila memasuki 10 terakhir Ramadhan, beliau mengencangkan kainnya, menghidupkan malam-malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (HR Mutafaqun ‘alaih)
Pada titik ini, sedikitnya ada dua hal yang patut dipahami terkait 10 hari menjelang berakhirnya Ramadhan. Ummat Islam secara umum mengenal keduanya itu dengan ‘tikaf dan memburu lailatul qadar.
Tentang keduanya ini, seperti disebut dalam awal tulisan, sudah sangat banyak uraian dan penjelasan. Namun kali ini kita coba telisik dari sisi lain. Yaitu, berdasarkan hadits yang datang dari ‘Aisyah tersebut. Anggap saja tulisan ini berupaya melengkapi ratusan dan mungin ribuan artikel lain yang sudah ada.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dan menjadi kesepakatan para ahli hadits tesebut, ada tiga hal yang dilakukan Rasululllah pada 10 hari terakhir Ramadhan.
Pertama, menghidupkan malam. Menghidupkan malam berarti mengisi dan memenuhi malam-malam Ramadhan dengan berbagai amal shaleh. Pada malam-malam terakhir Ramadhan itu, beliau meningkatkan dan memperbanyak beribadah kepada Allah.
Menghidupkan malam ini memang mengundang beberapa pertanyaan. Di antaranya, apakah Rasul menghidupkan sebagian malam, atau keseluruhan malam? Kalau sebagian malam, sebagian besarkah atau sebagian kecil malam saja?
Untuk rentetan pertanyaan tersebut, kita bisa mencari jawaban dari Aisyah RA. Dia berkata, “Tidak pernah aku melihat beliau (Nabi SAW) melakukan ibadah pada malam hari hingga pagi harinya dan berpuasa selama satu bulan penuh kecuali di bulan Ramadhan.” (HR Muslim).
Berpegang pada hadits ini, kita ketahui ternyata Rasulullah menghidupkan seluruh malam Ramadhan. Kalimat, melakukan ibadah pada malam hari hingga pagi harinya bermakna beliau mengerjakannya sejak malam hingga pagi menjelang.
Kedua, Rasulullah membangunkan keluarganya. Amalan kedua ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW mengajak seluruh anggota keluarganya untuk meningkatkan ibadah, khususnya mengerjakan shalat sunnah, pada malam-malam 10 hari yang terakhir. Hal serupa ini tidak beliau lakukan di malam-malam lain di luar Ramadhan.
Sebagai Rasul dan kekasih Allah, beliau paham benar keutamaan Ramadhan, khususnya di 10 hari terkahir. Sebagai kepala keluarga, Nabi juga tidak ingin menikmati kesempurnaan dan kemuliaan Ramadhan sendiri saja. Itulah sebabnya beliau juga membangunkan anggota keluarganya untuk beribadah sekaligus bersyukur kepad Allah Rab yang Maha Rahman dan Rahim.
Ketiga, mengencangkan ikat pinggang. Kalimat ini adalah bahasa halus dari ‘menjauhi istri’. Dengan demikian, sepanjang 10 malam terakhir Ramadhan, Nabi tidak menggauli istri-istrinya. Tentu saja, ini bukan karena mereka menjadi tidak halal. Melainkan lebih dimaksudkan untuk lebih berkonsentrasi dan memfokuskan diri pada upaya lebih dekat ke hadirat Allah Rabbul ‘Izzati.
Dalam sebuah hadits, diriwayatkan bahwa beliau tidak kembali ke tempat tidurnya sampai Ramadhan rampung. Pada sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Anas disebutkan, bahwa beliau melipat ranjangnya dan menjauhkan diri dari menggauli istri.
Bagaimana dengan kita? Apakah terlarang menggauli istri pada 10 malam terakhir Ramadhan. Tentu saja tidak. Allah sendiri dalam QS al Baqoroh menghalalkan istri kita di malam hari Ramadhan.
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Jadi, jika diri sedang ‘bergejolak’ tentunya lebih baik menuntaskan keperluan tersebut terlebih dahulu. Barulah setelah itu kembali fokus dalam menghidupkan malam-malam di 10 hari yang terakhir ini.
Masih adakah amalan lain untuk menghidupkan malam-malam terakhir Ramdhan yang dikerjakan Rasulullah? Ada. Yang keempat yaitu, mandi antara Maghrib dan Isya. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Aisyah, ia berkata:
“Di bulan Ramadhan, Rasulullah biasanya tidur dan bangun malam. Namun jika telah masuk sepuluh hari terakhir, beliau mengencangkan ikatan kainnya, menjauhi istri-istrinya, dan mandi di waktu antara Magrib dan Isya.”
Salah satu hikmah dari amalan Rasulullah ini adalah sebagai upaya menyiapkan diri dalam menghidupkan 10 malam terkahir Ramadhan. Bukankah dengan mandi tubuh terasa lebih segar dan bugar. Dengan demikian, kita memperoleh energi tambahan untuk beribadah sekaligus berburu Lailatul Qadar?
Tentu saja, amalan ini bisa dilakukan sepanjang tidak punya masalah yang terkait dengan mandi malam. Misalnya, buat mereka yang punya riawayat penyakit tulang dan persendian seperti encok, rematik, dan sebagainya, harus berpikir ulang untuk mandi antara maghrib dan isya ini..
Kelima,Iktikaf. Secara bahasa, itikaf berarti menetap, mengurung diri atau terhalangi. Dalam konteks ibadah, itikaf adalah berdiam diri di dalam masjid untuk mencari keridhaan Allah SWT. Orang yang sedang beriktikaf disebut mutakif.
Aisyah berkata, “Nabi SAW melakukan iktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau meninggal. Kemudian, istri-istrinya yang melakukan iktikaf sepeninggal beliau.” (HR Bukhari-Muslim)
Saat itikaf, kita dianjurkan untuk banyak ber-muhasabah atau introspeksi diriatas segala kesalahan dan dosa. Kita juga dianjurkan banyak membaca al Quran, dan tentu saja, shalat malam.
Khusus itikaf, Aisyah punya penjelasan tambahan. Istri Nabi ini berkata, “Rasulullah SAW senantiasa beri’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda, “Bersungguh-sungguhlah kalian mencari lailatul qadar pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikianlah beberapa saja dari begitu banyak hikmah bersungguh-sungguh dalam 10 malam terakhir Ramadhan. Lewat berbagai amalan tersebut, semoga bisa mengantarkan kita lebih dekat lagi kepada Allah. Dengan demikian, kita layak dan berhak memperoleh rahmat dan ridhaNya. Aamiin ya robbal ‘alamiin….
Wallahu a’lam bish-shawab. (*) (inilah)
Edy Mulyadi, Ketua Majelis Tabligh & Dakwah Korps Muballigh Jakarta (KMJ)