MELUPAKAN hiruk-pikuk pilpres, melupakan sejenak gurat penat rutinitas kota, dan kerasnya kehidupan kota perantauan. Mari mudik, pulang ke masing-masing kampung halaman, menumpahkan rindu pada keluarga, kawan lama dan tanah kelahiran. Begitulah kira-kira untuk mengekspresikan mimik wajah gembira para pemudik hari itu yang mengikuti mudik gratis yang diselenggarakan oleh Partai Demokrat -partai rintisan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sebentar lagi genap sudah masa jabatan kepresidenannya.
Segera setelah itu, dalam satu tancapan gas bus mudik yang membawa kami pulang dari arena Pekan Raya Jakarta (PRJ), titik berkumpulnya bis mudik, ramuan kata-kata itu kian menemukan rona sinarnya di wajah masing-masing penumpang mudik. Dengan cepat rona itu menyebar dan mendorong daya khayal semakin kuat tentang kampung tujuan mereka yang semakin dekat. Sebab dalam setiap hitungan detik, jarak tempuh tujuan kian terkikis oleh laju cepat bus yang kami tumpangi. Andai boleh berspekulasi, tak ada harapan yang lebih besar yang didamba para pemudik hari itu selain selamat sampai tujuan, yakni kampung halaman, dan berjumpa keluarga dalam keadaan sehat wal afiyat plus berkah.
Gambaran di atas -terutama gairah pulang kampung dan rasa berbunga karena hendak berkumpul dengan keluarga- mewakili gairah luar biasa dari fenomena mudik lebaran. Harapan penulis semoga mudik lebaran ini tidak sekedar euforia tak bermakna, euforia yang datang dan pergi setiap tahun. Melainkan di balik itu, para pemudik menemukan sebuah kearifan dari tradisi mudik sehingga jauh lebih bermanfaat.
***
Secara umum, mudik berarti kembali ke kampung halaman. Dalam terjemahan Inggrisnya, kita temukan “home to the village”. Cak Nur, dalam buku Indonesia Kita, mengartikan mudik sebagai “kembali ke udik” (kampung). Dengan kata lain, hijrahnya seseorang dari satu tempat kembali ke tempat tanah kelahirannya (kampung halaman) adalah peristiwa mudik. Dengan pemahaman ini, sebenarnya tak ada yang luar biasa dari peristiwa mudik. Kapan saja peristiwa itu dapat terjadi.
Namun dalam konteks tradisi masyarakat Indonesia terutama yang terjadi pada bulan-bulan suci umat Islam, mudik menyimpan kekayaan makna, kearifan dan euforia kebahagiaan. Ada dimensi spiritual, sosial budaya, dan moral di balik peristiwa itu. Sebabnya efek resonansi dari mudik di waktu-waktu tertentu seperti bulan ini jauh lebih besar ketimbang hari-hari biasa lainnya.
Mari kita menyelami mudik dalam konteks ini untuk menemukan kekayaan nilai tersebut? Pertama, mudik berarti kembali ke kampung halaman atau tanah kelahiran. Kampung halaman atau tanah kelahiran ibarat sang ibu. Di sini, kita lahir dan tumbuh besar, menyerap kearifan budaya dan tumbuh dewasa, belajar menyemai etika dan mengeja bahasa. Dengan kata lain, berawal dari sini segala yang menyangkut diri terbentuk melalui proses belajar dari lingkungan sosial yang ada.
Oleh sebab itu, peristiwa mudik seyogyanya disertai kesadaran untuk mewarisi kembali kearifan-kearifan budaya lokal yang barangkali mulai luntur dari kepribadiannya sebagai akibat dari pergaulan dan pergumulan dengan budaya kota. Selain itu, dengan kesadaran ini, kita dapat mengurangi sikap arogansi budaya, semisal membandingkan budaya kota sebagai lebih superior daripada kearifan lokal, yang mungkin timbul dari gaya hidup perkotaan.
Kedua, dengan meminjam dan sedikit modifikasi, kampung memiliki karakter- apa yang disebut Ferdinand Tonnies sebagai -Gemeinschaft (paguyuban) atau mechanic solidarity- kata Emile Durkheim. Dimana dari keduanya dapat ditarik kesepakatan tentang kuatnya nilai-nilai solidaritas dan kepedulian satu sama lain. Dengan menyadari karakter ini, hanya apabila rasa kemanusiaan, kepedulian dan solidaritas antar sesama bertumbuh lebih kuat, mudik lebaran boleh dikata tak sebatas euforia tak bermakna.
Ketiga, dalam tradisi lebaran, alasan di balik mudik tak lain sebagai ajang pelepasan rindu kepada keluarga yang lama ditinggalkan di kampung dan ajang saling maaf-memaafkan diantara mereka. Dengan mudik, dahaga rindu kepada keluarga dapat terobati. Ikatan kasih sayang, jalinan kekeluargaan dan kekerabatan diantara mereka kian erat.
Oleh sebab itu, mudik lebaran bagi sebagian orang sudah seperti kewajiban moral yang harus ditunaikan. Terkait soal ini, penulis dibuat terkesan oleh jawaban teman saya ketika ditanya keharusan untuk mudik lebaran. Menurutnya, mudik lebaran adalah keharusan agar dapat berkumpul dengan keluarga. Karena tak ada yang dapat memastikan apakah pada lebaran-lebaran berikutnya tuhan belum lagi menjemputnya dengan kematian.
***
Dua hal di atas hanyalah segelintir saja dari kearifan-kearifan yang dapat ditangkap dari mudik lebaran. Ibarat gunung es, kearifan yang tersembunyi di bawah permukaan mudik jauh lebih banyak dari apa yang tampak dari permukaan. Dengan menyadari ini, adalah kewajiban bersama untuk terus menelaah kearifan yang tersembunyi itu. Mudik lebaran akan lebih berkah dan bermakna hanya apabila ada ketulusan untuk merenungkan dan menelaah kembali kearifan itu dan menjauhi sikap dan perilaku sebatas euforia saja.[***/RMOL]
Sulaiman
Penggiat Kajian Budaya INCA (Indonesian Culture Academy) Ciputat