CIKARANG – Koordinator penuntutan dalam perkara dugaan korupsi TKD Setia Asih, pada Kejari Cikarang, Aditya Rakatama membeberkan kronologis persoalan TKD tersebut.
Asal muasal jadi tanah TKD, awalnya tanah itu tanah milik H. Hamdani, orang tua Syamsuri Hadi alias SH, karena diatasnya sudah berdiri kantor desa, oleh Hamdani direlakan untuk kantor desa saja. Lalu Hamdani meminta gantinya.
Melalui persetujuan Gubernur dan Bupati, Hamdani pun mendapat ganti seluas 20.000 meter persegi, dua kali lebih luas dari tanah miliknya. Tapi pada kenyataannya, TKD yang telah diruislag tersebut (kantor desa) masih diakui oleh SH, dimana oleh SH kemudian disewakan menjadi pasar dan tower milik PT Protelindo.
Sekitar tahun 2004, pada masa periode kedua kepemimpinan SH, SH menyewakan TKD kepada PT Protelindo, dimintakan rekomendasi Camat namun tidak pernah dibicarakan dengan BPD, murni keputusan sepihak SH.
Dari hasil sewa, uangnya masuk ke rekening pribadi SH, tidak masuk ke APBDes ataupun rekening desa. Padahal, sesuai regulasi, uang hasil sewa menyewa itu dipergunakan untuk operasional Kades, perangkat desa, serta kemakmuran desa.
Masih kata Raka, kontrak itu berlaku selama 10 tahun, dari 2004 sampai tahun ini (2014). Pada 2012, sebelum masa kontrak selesai, sudah dilakukan perpanjangan, lagi-lagi tanpa melalui prosedur.
Ketika pihak penyewa hendak meminta surat keterangan mengenai tanah tersebut, riwayat tanahnya, dibuatlah oleh tersangka menjadi tanah milik dia pribadi.
Lalu dari pihak penyewa minta legalisir desa, kemudian dilakukan legalisir oleh desa namun pada tanda tangan Kadesnya bernama Taufiqurrahman (staf desa), dimana seharusnya saat itu dijabat oleh Siti Komariyah.
Setelah dikonfirmasi pihaknya, sambung Raka, ternyata Taufiqurrahman mengaku tidak merasa menandatangani. Belum selesai sampai disitu, SH juga manfaatkan tanah TKD untuk pasar.
Di dalam prosesnya, juga tidak melibatkan BPD, BPD dalam hal ini juga telah nyatakan tidak setuju kalau TKD dijadikan pasar. Hasil sewa menyewa dari pedagang, masuk kantong pribadi SH.
“Ada yang kasih Rp.10 juta, bahkan Rp.15 juta selama 10 tahun, tapi perbulan juga ditarik lagi Rp.100 ribu sampai Rp.300 ribu. Kalau masa kontraknya habis, berikutnya pedagang disuruh bayar Rp.500 ribu, alasannya untuk administrasi pembuatan blanko. Keren gak tuh,” ujar Raka.