BERITABEKASI.CO.ID, BEKASI TIMUR – “Soal Agraria (tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah sumber makanan bagi manusia, perebutan tanah berarti perebutan tiang penghidupan manusia, untuk ini, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segalanya yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya”
Meski kian menua, Perayaan Hari Tani Nasional yang ke- 54 masih dirasakan hambar karena minimnya kepedulian Negara terhadap kemajuan hidup rakyatnya terutama nasib petani. Hal tersebut dilantangkan dalam aksi BEM-KM Unisma Bekasi yang dilakukan di depan kampus tersebut.
Dalam aksinya, mereka menantang kaum intelektual untuk mendesak pemerintah agar segera menjalankan kembali UUPA No. 5 tahun 1960 mengenai peraturan Dasar pokok agraria. Karena, kaum petani Indonesia tampak tak semakin menemukan jalan kesejahteraan dan justru terperosok semakin kalah.
“Inilah yang membuat kita bertanya, dimana letak pembelaan Negara terhadap usaha kemajuan kaum tani yang notabene adalah rakyatnya yang mayoritas miskin dan menderita,” Cetus Koordinator aksi, Yogi Aditya. Dirinya pun menjelaskan bahwa problem aktual yang dihadapi kaum tani Indonesia saat ini yang semakin menyengsarakan bersumber dari usaha kolonial baru bernama neoliberalisme.
“begitu banyak masalah yang dihadapi kaum tani Indonesia dewasa ini seperti konsorsium Pembaruan Agraria mencatat dalam 10 tahun terakhir telah terjadi 1.391 konflik agraria dengan jumlah korban sebanyak 926.700 KK, dan sampai saat ini kita masih import 28 komoditas pangan yang notabene kita santap setiap hari itu berasal dari luar negeri, sebuah fakta ironis yang terjadi dinegara yang katanya Agraris dan Maritim ini,” tambahnya.
Atas dasar itu, massa aksi mengajak dalam seruannya menuntut kepada pemerintah baik pusat maupun Pemerintah daerah menjalankan kembali UUPA no. 5 tahun 1960, mendesak pemerintah baru agar segera laksanakan reforma agraria, dan mengambil alih aset tanah dan air dari kekuasaan investor asing.
“laksanakan segera agar tidak ada lagi kaum tani Indonesia yang menderita karena kedaulatan pangan itu ada di tangan petani sendiri, bukan di tangan menteri Pertanian maupun Menteri perdagangan, sebab soal pangan adalah soal hidup matinya bangsa,” pungkasnya (ewok)