Jakarta – Pekan depan (15/16 Oktober) akan berlangsung pemilihan Ketua Mahkamah Agung (KMA) yang baru, menggantikan KMA Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin, S.H., M. H yang segera purna tugas pada 17 Oktober 2024.
Terkait pemilihan KMA, Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) Dr. TM Luthfi Yazid, S.H., LL.M dalam siaran persnya, Sabtu (12/10/2024) menyampaikan harapan terhadap pimpinan baru dari rumah terakhir para pencari keadilan itu.
Menurut Ketum De-PA-RI, meskipun peristiwa pemilihan KMA dilaksanakan secara rutin tiap lima tahun, tapi harus dicatat bahwa pemilihan KMA adalah sebuah momentum penting bagi bangsa dan negeri ini.
Pemilihan KMA dan Wakil Ketua MA, lanjutnya, harus benar-benar murni dari intervensi pihak (kekuasaan) mana pun. Pemilihan KMA itu akan dilaksanakan dalam satu Sidang Paripurna Khusus Mahkamah Agung.
Beredar beberapa nama yang disebut-sebut pantas mencalonkan-diri menjadi nahkoda bagi MA dalam lima tahun ke depan.
Nama-nama dimaksud yaitu Wakil Ketua MA Bidang Yustisial Dr. Sunarto, S.H., M.H; Wakil Ketua MA Non-Yustisial Suharto, S.H., M.Hum; Hakim Agung Dr. Yulius, S.H., M.H; Hakim Agung Prof. Dr. Haswandi, S.H., S.E., M.Hum, M.M.; dan Ketua Kamar Pidana Dr. Prim Haryadi, S.H., MH.
Ketua MA dan Wakil Ketua MA dipilih dari dan oleh Hakim Agung (Pasal 1 Keputusan KMA Nomor 007/KMA/SK/I/2009 tentang Peraturan Tata Tertib Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia) yang dilakukan oleh satu Panitia Pemilihan. Jumlah Hakim Agung saat ini sekitar 46 – 50 orang sudah termasuk para pimpinan MA.
Ketum DePA-RI menyatakan, prinsip check and balances harus dipastikan berjalan. Ini penting untuk mewujudkan negara hukum serta terciptanya kepastian hukum yang adil (Pasal 28D ayat 1 UUD 1945), dan dalam Pasal 24 (1) UUD 1945 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang bebas dan merdeka.
Artinya, seorang hakim dalam memutus suatu perkara tidak boleh terpengaruh atau diintervensi oleh siapapun, kecuali oleh akal dan nuraninya sendiri agar hakim dapat menjalankan kekuasaannya secara bebas dan merdeka dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Hal inilah yang menjadikan kedudukan seorang hakim sangat strategis dalam mewujudkan negara hukum. Karena tataran ini pula negara memiliki kewajiban menjamin kesejahteraan dan keamanan mereka sebagaimana diatur dalam Pasal 48 (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman.
Ketum DePA-RI juga mengatakan, KMA yang baru harus didukung oleh seluruh institusi penegak hukum agar MA benar-benar menjadi tumpuan para pencari keadilan (justice seeker). Para hakim harus memiliki integritas, bersih dan anti gratifikasi anti korupsi.
Bagaimana pun hakim memiliki kekuasaan yang menentukan, sehingga tanpa didukung oleh masyarakat dan terutama negara dari segi kesejahteraan dan keamanan, maka bukan tidak mungkin banyak hakim yang akan tergoda untuk tidak bersikap mandiri serta independen dalam mewujudkan free and impartial tribunals.
Luthfi juga mengingatkan, Indeks Negara Hukum (Rule of Law Index) di Indonesia sejak 2023 masih menunjukkan stagnasi alias macet.
Ini disebabkan oleh banyak faktor seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran etik institusi hukum, Kepolisian, KPK, dan proses legislasi yang tidak melibatkan partisipasi publik.
Oleh sebab itu, Ketum DePA-RI berharap agar MA dapat dipimpin oleh Ketua MA dengan (harapan) kriteria seperti berikut:
Pertama, memiliki integritas yang baik, dibuktikan dengan rekam jejak yang tidak bermasalah secara hukum;
Kedua, memiliki kapabilitas dan leadership sebagai Ketua MA.
Ketiga, memiliki kemampuan berpikir hukum yang baik karena KMA bertanggungjawab untuk melakukan koreksi atas semua putusan ditingkat judex factie.
Keempat, dapat menjadi teladan (role model) alias menjadi contoh dan panutan bagi para hakim lainnya di seluruh Indonesia, baik secara profesi maupun moral.
Kelima, mengayomi seluruh insan peradilan di seluruh Indonesia dan dapat menjamin bahwa setiap lembaga peradilan di seluruh Indonesia adalah tempat menambatkan harapan keadilan.
Keenam, profesional dan independen dalam menjalankan tugasnya serta dapat membangun keadaan yang menjadikan mereka yang papa, lemah atau less in power tidak ciut hatinya ketika mencari keadilan di lembaga peradilan.
Ketujuh, seorang Ketua MA harus punya wisdom (kearifan yang tinggi) dan karenanya ia harus sudah selesai dengan dirinya, dan apa yang dia tinggalkan kelak akan menjadi legacy.
Menurut Ketum DePA-RI, pada prinsipnya seorang hakim itu tidak punya kepentingan apapun kecuali membuat putusan yang berkualitas dan berpihak pada kebenaran dan keadilan (the truth and justice).
Luthfi berharap pemilihan pimpinan MA yang baru berlangsung secara demokratis dan damai serta sesuai dengan nurani para Hakim Agung yang memilih, dan semata-mata demi terwujudnya keadilan bagi semua, Justitia Omnibus.(**)