Efek Pembatasan Solar Bersubsidi

Oleh : Fahmy Radhi
LAGI-LAGI Pemerintahan SBY menerapan kebijakan setengah hati dalam pembatasan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Kali ini dilakukan melalui kebijakan pembatasan solar bersubsidi. Sebelumnya, Pemerintahan SBY sudah sering kali mewacanakan dan menerapkan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi, di antaranya: pembatasan pemakaian BBM bersubsidi untuk mobil pribadi berkapasitas silinder mesin 1.500 CC ke atas, pelarangan pemakaian BBM bersubsidi bagi kendaraan bermotor pelat merah, dan pembatasan pemakaian BBM bersubsidi melalui skema dua harga. Ironisnya, semua kebijakan pembatasan BBM bersubsidi tidak pernah diterapkan secara efektif. Bahkan kebijakan tersebut tiba-tiba dibatalkan dan dilupakan begitu saja.
Kali ini, melalui surat edaran Kepala BPH Migas No 937/07KaBPH/2014 tertanggal 24 Juli 2014, BPH Migas menginstruksikan untuk tidak menyalurkan BBM jenis solar bersubsidi di wilayah tertentu. Di awali di wilayah DKI Jakarta yang berlaku sejak 1 Agustus 2014, selanjutnya akan diberlakukan di seluruh Pulau Jawa dan Bali serta Pulau Sumatra. Kebijakan ini merupakan respons dari penurunan kuota BBM Bersubsidi di APBNP 2014 dari 48 juta kiloliter menjadi 46 juta kiloliter. Kalau pun kebijakan ini dinilai efektif untuk membatasi BBM bersubsidi, pertanyaannya, mengapa harus solar bersubsidi, bukan premium bersubsidi yang dibatasi?
Tidak bisa dihindari pembatasan solar bersubsidi akan menimbulkan kelangkaan ketersediaan solar, yang ujung-ujungnya akan berdampak kepada masyarakat lapis bawah. Lantaran, pengguna solar sebagaian besar adalah rakyat kecil, seperti sopir angkutan umum, petani, dan nelayan. Sopir angkot dan bus antarkota-propinsi, serta sopir truk harus kehilangan pendapatannya lantaran mereka tidak bisa ‘nrayek’ akibat solar semakin langka. Petani pengguna traktor tidak bisa menggarap sawah karena solar tidak tersedia untuk menjalankan traktornya. Para nelayan tidak bisa lagi menghidupi keluarganya karena tidak bisa melaut tanpa ketersediaan solar untuk menjalankan kapal penangkap ikan.
Selain itu, kesulitan sopir truk untuk mendapatkan solar akan mengganggu aktivitas transportasi logistik yang berpengaruh terhadap kelancaran arus distribusi barang. Dampaknya, harga-harga kebutuhan pokok akan mengalami kenaikan, yang memicu inflasi negeri ini. Inflasi yang tinggi akan menggerogoti pendapatan masyarakat berpenghasilan tetap, sehingga berpotensi memiskinkan mereka. Tidak berlebihan dikatakan bahwa kelangkaan solar akibat kebijakan pembatasan solar bersubsidi akan memberikan kontribusi signifikan terhadap proses pemiskinan rakyat Indoesia.
Untuk mencegah proses pemiskinan akibat kelangkaan solar tersebut, kebijakan BPH Migas dalam pembatasan solar bersubsidi di sejumlah daerah harus segera dibatalkan. Kalau pun Pemerintahan SBY masih tetap ngotot akan membatasi BBM bersubsidi, mestinya yang dibatasi adalah konsumsi premium bersubsidi, bukan solar bersubsidi. Alasannya, selain dampak inflasi relatif lebih rendah, konsumen terbesar premium bersubsdi adalah masyarakat golongan menengah ke atas, para pemilik mobil pribadi. Bukan para sopir angkot, sopir bus, petani dan nelayan yang rentan terhadap proses pemiskinan di Indonesia.***Penulis adalah Dosen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi UGM.