CIKARANG – Dinas Budaya, Pemuda, dan Olahraga (Disbudpora) Kabupaten Bekasi menggelar sebuah diskusi publik dengan tema, Peran KH Raden Ma’mun Nawawi dalam Perang Kemerdekaan dan Pelatihan Militer Laskar Hizbullah, di Hotel Sakura Deltamas, Cikarang Pusat, pada Selasa (27/11).
Acara tersebut dihadiri beberapa tokoh. Diantaranya Pengurus PBNU, MUI, PCNU, dan PD Muhammadiyah Kabupaten Bekasi, Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) Cibarusah, Sejarawan dan Budayawan Bekasi, Guru IPS se-Kabupaten Bekasi, Komunitas Sejarah Budaya Bekasi, perguruan tinggi, serta sejumlah pondok pesantren.
Dalam acara tersebut, Disbudpora melalui Tim Peneliti memaparkan hasil riset tokoh Hizbullah Sabilillah asal Cibarusah, Bekasi itu. Peneliti yang didatangkan adalah Andi Sopandi dan Ahmad Djaelani.
“Peranan ulama santri cenderung terpinggirkan dalam catatan sejarah Indonesia, termasuk pada masa revolusi kemerdekaan,” kata Andi Sopandi,Kamis (29/11).
Padahal menurutnya, terdapat suatu momentum besar dalam pentas perjuangan besar yang melibatkan ulama santri, yakni Pelatihan Militer Laskar Hizbullah yang dilaksanakan di Cibarusah oleh Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada Februari-Mei 1945.
“Pelatihan Laskar Hizbullah ini menjadi titik embrio pelaku dan pejuang sebagai awal pergerakan dari serangkaian peristiwa pertempuran di Indonesia pada masa perang kemerdekaan,” lanjut Andi.
Ia melanjutkan bahwa ada tiga pertimbangan yang menjadikan Cibarusah dipilih sebagai tempat Pelatihan Laskar Hizbullah.
Pertama, wilayah Cibarusah secara geografis saat itu merupakan daerah lintasan yang sangat strategis. Diantaranya karena masih banyak hutan dan terdapat tanah lapang yang cocok untuk melakukan pelatihan.
“Keberadaan hutan sangat mendukung dalam kegiatan pelatihan itu. Mengingat pola perlawanan yang diterapkan Jepang sejak Pembentukan PETA pada 1943 menerapkan sistem gerilya,” terang Andi.
Kedua, lokasi Cibarusah yang strategis itu dikarenakan pertimbangan jarak antara Bekasi dan Jakarta sebagai pusat pemerintahan militer Jepang.
“Sekaligus pusat di mana Kantor Pengurus Pusat Masyumi berada yang tidak terlalu jauh, sehingga memudahkan dalam hal pengurusan administrasi atau hal-hal yang terkait dengan pelatihan tersebut,” lanjut Andi.
Ketiga, berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa tokoh di Cibarusah menunjukkan bahwa pemilihan lokasi pelatihan di sana bukan hanya faktor letaknya yang sangat strategis untuk menjangkau daerah sekitar (Jakarta, Bogor, Karawang).
“Tapi juga tak terlepas dari kedekatan tokoh KH Wahid Hasyim dengan KH Raden Ma’mun Nawawi. Saat itu secara informal, Kiai Ma’mun dijadikan sebagai penasihat kegiatan Pelatihan Hizbullah pertama tingkat Nasional di Cibarusah,” papar Andi.
Sejalan dengan itu, Ahmad Djaelani juga mengatakan bahwa KH Raden Ma’mun Nawawi memiliki kedekatan dengan pimpinan tertinggi Masyumi yang juga pendiri NU KH Hasyim Asy’ari, dan Ketua Muda Masyumi KH Wahid Hasyim.
“Kedekatan itu bermula saat Kiai Ma’mun menjalankan studi di Pondok Pesantren Tebuireng pada 1936,” katanya.
Djaelani melanjutkan, meski tidak lama menimba ilmu di Tebuireng, KH Hasyim Asy’ari bersyukur memiliki murid secerdas KH Raden Ma’mun Nawawi.
“Salah satu kebanggaan KH Hasyim Asya’ari adalah berhasil menurunkan ilmu falaknya kepada KH Raden Ma’mun Nawawi,” lanjut Djaelani.
Dalam beberapa keterangan dan dokumen yang ditemukan, KH Raden Ma’mun Nawawi juga sangat menghormati dan meneladani sosok KH Hasyim Asy’ari.
“Beberapa kitab KH Hasyim Asy’ari dan ayahnya Kiai Asy’ari dibawa ke kampung halaman KH Raden Ma’mun Nawawi di Cibogo, Cibarusah, Bekasi,” jelas Djaelani.
Dikatakan, Kiai Ma’mun turut berjuang pada masa perang kemerdekaan di periode 1945-1949 dengan menjadi penasihat rohani dan kebatinan para pejuang kemerdekaan Laskar Hizbullah Sabilillah di Bekasi, Bogor, dan sekitarnya.
“Beliau pun menjadikan Pondok Pesantren Al-Baqiyatussholihat yang didirikannya sejak tahun 1938 di Kampung Cibogo Cibarusah sebagai basis perjuangan,” pungkas Djaelani.(**)