CIKARANG – Anggota DPRD Kabupaten Bekasi, Muhtadi Muntaha menilai sejak berdiri pada 15 Agustus 1950 hingga Bekasi berusia “sepuh” (64 tahun), pengelolaan keuangan daerah dari masa ke masa, dari dan ke Bupati berikutnya, lagi-lagi soal identitas, jatidiri dan budaya Bekasi selalu menjadi “non prioritas” atau menempati pagu anggaran “kelas sisa”.
Hal itu terbukti dengan baru terbitnya Perda Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pelestarian Cagar Budaya, dan hingga kini masih berproses tahapan persetujuan DPRD atas pengajuan komposisi Tim Cagar Budaya kabupaten Bekasi oleh Bupati Bekasi.
“Ibarat main bola, kita baru sampai tahap juara kompetisi tingkat kampung, tapi kalo Kota Surabaya, Jogja, bahkan Purwakarta udah jadi juara dunia dalam hal pelestarian budaya lokal dan perhatian pada sisi karakter daerah atau jatidiri,” tegasnya.
Politisi PAN ini juga menilai, sejak Bekasi berdiri hingga saat ini, ada ratusan tempat dan benda cagar budaya yang belum ditetapkan sebagai benda cagar budaya oleh Bupati Bekasi. Termasuk soal ikon daerah dan baju khas lokal atau adat daerah yang diatur melalui sebuah regulasi.
“Saya berharap dengan akan terbentuknya Tim Cagar Budaya akan secepatnya keluar Peraturan Bupati (Perbup) tentang hal tersebut. Kita sudah ketinggalan kereta, malah Gedong Juang Tambun masih sunyi dari sentuhan tangan-tangan kekuasaan di Bumi Patriot ini,” cetusnya.
Muhtadi juga menyebutkan, ada semacam keseragaman terstruktur yang dialami oleh PNS di Bekasi, mereka secara terang menderang tidak perduli pada pelestarian budaya dan sejarah Bekasi.
“Ngecor jalan gak dibarengi dengan ‘ngecor’ mentalitas dan pondasi patriotisme lokal. Ini keliru dan kudu buru-buru diberesin oleh penguasa Bekasi saat ini,” katanya.
Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin, kata Muhtadi saat ini tampak jelas hanya mengikuti ‘denting piano’ penguasa sebelumnya, cuma meneruskan saja, atau mengganti yang lama dengan sesuatu yang baru, namun tetap tidak masuk dalam kategori ‘luar biasa’ atau spektakuler.
“Jika jaman Bang Saad ada program dana kematian, maka di era Mpok Neneng ganti kulit menjadi program pembangunan rumah tidak layak huni (rutilahu). Maka sebagai bocah Bekasi yang kebetulan ada di gedung parlemen, menganggap program tersebut biasa-biasa aja,” jelasnya.
Maka merupakan sebuah kenyataan bahwa alokasi anggaran daerah untuk pengembangan bidang budaya, pariwisata dan ekonomi kreatif berskala lokal menempati ranking ‘ashobah’ alias sisa.
“Itu saya alami sendiri saat pihak eksekutif mengajukan anggaran ke DPRD. Semua yang ada di Bekasi masih serba tanggung, gak spektakuler. Ada yang spektakuler tapi keuntungannya malah sangat banyak diangkut oleh pusat seperti kawasan industri dan kekayaan minyak kita. Kita cuma kebagian ampas dan limbahnya doang,” tutur pria jebolan universitas ternama di kawasan Timur Tengah.