Dampak Real Count Pilpres 2014, Ini Kata Pengamat

Ilustrasi
Ilustrasi

JAKARTA – Pasca Pemilu 9 Juli 2014 lalu, masyarakat Indonesia diselimuti kebingungan atas klaim kemenangan versi quick count (QC) dari kedua kubu Capres. Terkait hal tersebut, Direktur Pusat Kajian Peradaban Pancasila, Nanang Djamaludin mengatakan, untuk sementara bangsa Indonesia memiliki presiden kembar menurut versi QC, yang sontak memunculkan kegaduhan baru di jagad politik nasional. Sebab, masing-masing kubu Capres yakin pihaknya lah yang menang, mengacu dari hasil QC lembaga survey yang diyakini mereka kredibel.
Padahal menurutnya, di tingkat masyarakat akar rumput, dampak saling mengklaim bahwa capres-cawapresnya lah yang menang bukan saja menimbulkan kebingungan, tapi juga mampu memprovokasi terbentuknya ketegangan antar kubu, ke titik yang paling memungkinkan disulut ke arah konflik horisontal antar masyarakat.
“Semua pihak harus sepakat, di masa penghitungan dan rekapitulasi suara real count saat ini, suasana damai harus tetap dijaga segenap elemen bangsa, sambil bersabar menunggu pengumuman hasil akhir perhitungan suara oleh KPU pada 22 Juli nanti,” kata Nanang kepada beritabekasi.co.id, Senin (14/07/2014) kemarin.
Meski demikian, kata dia, proses rekapitulasi suara oleh KPU harus tetap dikawal secara ketat lewat partisipasi masyarakat. Hal ini penting untuk menutup peluang kecurangan yang bisa saja terjadi, di tengah sistem Pemilu yang belum sempurna ini, yang masih cukup rentan untuk dimanipulasi.
“Sejauh ini saja, sejumlah TPS di beberapa daerah ditemui form C1 yang diduga telah ditambah angka di depannya, sehingga perolehan suara capres-cawapres tertentu menggelembung secara signifikan,” ungkapnya.
Ada juga yang melalui teknik merubah angka di depan dengan angka yang garis dan lekuknya mirip dengan angka sebenarnya, sehingga jumlah suara menjadi lebih besar. Belum lagi potensi penggunaan surat suara yang tak terpakai untuk dicoblos untuk menggelembungkan perolehan suara.
Nanang melanjutkan, justru disinilah profesionalitas, kredibilitas dan netralitas KPU serta Bawaslu dipertaruhkan. Juga netralitas pemerintah beserta aparaturnya. Jika tindakan yang muncul ternyata adalah tindakan yang keluar dari jalur profesionalitas, kredibilitas dan netralitas, maka akan ada harga yang harus dibayar teramat mahal oleh bangsa ini. Tidak hanya akan menghancurkan proses konsolidasi demokrasi ke arah kedewasaan berpolitik segenap anak bangsa yang telah diperjuangkan selama ini, tapi juga melahirkan potensi kekeruhan ke arah konflik horisontal yang meluas di antara sesama anak bangsa.
(bang)