Alternatif Pembiayaan Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM)

Ketua
Panglima Laskar Dewaruci, Mochtar Mohamad

Wacana menaikkan harga BBM mencuat setelah pertemuan penting antara Presiden Republik Indonesia terpilih tahun 2014 yaitu Joko Widodo dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden terpilih Joko Widodo meminta Pemerintahan SBY menaikkan harga BBM agar pemerintahan Joko Widodo mendatang tidak terbebani dengan subsidi yg besar. Tetapi Presiden SBY menolak kenaikan harga BBM untuk menghindari beban politik tidak populer di mata masyarakat dan lebih memilih memberikan beban tersebut kepada pemerintahan Joko Widodo.
Menaikkan harga BBM untuk mengurangi subsidi BBM yang diperkirakan menghabiskan anggaran 350 triliun untuk tahun 2015 merupakan langkah yg paling mudah dan paling cepat untuk mengurangi defisit anggaran, tetapi menaikkan harga BBM juga akan mengorbankan kesejahteraan rakyat kecil yang sudah terbebani dengan berbagai persoalan. Ada beberapa sektor yang sebenarnya bisa diharapkan untuk membayar subsidi BBM sebesar 350 triliun ini tanpa perlu membebani rakyat kecil yang sudah menderita dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu cara untuk menutupi subsidi BBM sebesar 350 triliun tsb adalah menaikkan pajak dan cukai dari beberapa sektor yang memang selamaini menikmati keuntungan tapi kontribusinya pembayaran pajaknya masih bisa ditingkatkan tanpa perlu membebani rakyat kecil.
Sektor pertama yang perlu ditingkatkan pembayaran pajaknya adalah sektor otomotif, sebagai sektor yang paling menikmati subsidi BBM. Menurut data dari Kepolisian Republik Indonesia, jumlah total kendaraan bermotor di tahun 2013 104,211 juta dengan rincian jumlah mobil sebanyak 17,958 juta dan jumlah motor sebanyak 86,253 juta. Apabila Pajak Kendaraan Bermotor untuk mobil ditambah Rp.2 juta setahun dan untuk motor ditambah sebesar Rp. 500 ribu setahun dari Pajak Kendaraan Bermotor yg ada sekarang, maka akan didapat tambahan penerimaan negara kira-kira sebesar Rp. 79 triliun setahun. Jumlah produksi mobil baru setiap tahun sebesar 500.000 unit dan jumlah produksi motor baru sebesar minimal 3 juta unit. Apabila untuk mobil baru diberikan Pajak Tambahan sebesar Rp. 5 juta per unit dan untuk motor baru diberikan Pajak Tambahan sebesar Rp. 500.000 per unit, maka akan didapat tambahan penerimaan Pajak sebesar Rp. 5,5 trilun setahun.  Tentunya pembagian beban Pajak Tambahan Kendaraan Bermotor ini tidak sama rata, tetapi dibebankan berdasarkan kategori mobil / motor (mobil mewah, niaga, sedan, MPV, SUV, truk, motor matic, motor manual, dll), kapasitas mesinnya (2500 cc, 2000 cc,1500 cc,dll) dan daerah (Jabodetabek, Jawa, luar Jawa, dll). Hal ini membutuhkan kerjasama antara Kementerian Keuangan, Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Perhubungan dalam menentukan berapa besar Pajak Tambahan Kendaraan Bermotor untuk tiap mobil dan motor. Apabila hal ini bisa dilaksanakan, maka akan bisa menghasilkan tambahan penerimaan negara sebesar Rp. 84,5 triliun setahun untuk menutup subsidi BBM. Cara ini tidak akan membebani rakyat kecil karena yang membayar adalah pemilik mobil dan motor.
Sektor kedua yang perlu ditingkatkan pembayaran pajaknya adalah sektor rokok dan alkohol. Menurut data dari Ditjen Bea dan Cukai, penerimaan cukai untuk tahun 2014 ditargetkan sebesar kurang lebih Rp. 114 triliun. Apabila cukai rokok dinaikkan 50% dan cukai alkohol dinaikkan 100%, maka akan didapat tambahan penerimaan cukai sebesar Rp. 60,5 triliun setahun. Kenaikan ini tidak membebani rakyat kecil dan untuk melindungi kesehatan rakyat Indonesia.
Sektor ketiga yang perlu ditingkatkan pembayaran pajaknya adalah sektor minyak dan gas (migas). Menurut data dari Kementerian ESDM, produksi minyak Indonesia adalah 800.000 barel perhari dengan biaya Cost Recovery sebesar US$ 14 billion. Dengan asumsi harga minyak dunia adalah US$ 100/ barel dan kurs US$ adalah Rp.11.000/US$, maka pendapatan kotor Indonesia dari minyak adalah sebesar Rp.321,2 triliun dan Cost Recovery sebesar Rp. 154 triliun. Dengan demikian rasio Cost Recovery terhadap pendapatan kotor adalah hampir sebesar 50%. Data dari OPEC menyebutkan, biaya rata-rata untuk pengeboran minyak onshore adalah US$  4 dan untuk offshore adalah US$ 10, atau maksimal 10% dari total pendapatan kotor. Apabila Cost Recovery ini bisa dihemat 15% saja, maka akan didapat tambahan penerimaan negara sebesar Rp. 22,5 triliunsetahun. Selama ini penentuan Cost Recovery tidak melibatkan Ditjen Pajak sehingga penentuan Cost Recovery ini masih belum optimal dan masih ada celah untuk penghematan. Cost Recovery ini tidak membebani rakyat kecil karena yang akan membayar adalah kontraktor minyak. Syarat yang diperlukan untuk mewujudkan hal ini adalah kerjasama yang baik antara Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM dan BPK.
Sektor keempat yang perlu ditingkatkan pembayaran pajaknya adalah transaksi ekspor dan impor. Selama ini hanya transaksi impor yang dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor sebesar 2,5%. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 ini hanya pembayaran pendahuluan, sehingga tidak mempengaruhi total pembayaran pajak secara keseluruhan. Seharusnya bukan hanya transaksi impor saja yang dikenakan PPh Pasal 22, tetapi juga transaksi ekspor. Pengenaan PPh Pasal 22 atas transaksi ekspor, disamping untuk tambahan penerimaan pajak, juga sebagai kontrol atas berapa nilai ekspor yang sebenarnya. Menurut data Badan Pusat Statistik, total ekspor Indonesia tahun 2013 adalah sebesar US$ 182,57 billion atau sekitar Rp. 2.008 triliun rupiah (kurs Rp.11.000/US$). Apabila dikenakan tarif PPh ekspor sebesar 2,5%, maka akan didapat tambahan penerimaan negara sebesar Rp. 50 trilunsetahun. Pajak atas ekspor ini dibayarkan di pelabuhan sebelum barang ekspor dikirim. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan oleh DPR RI. Tambahan pajak ekspor ini tidak membebani rakyat kecil karena hanya akan dikenakan kepada eksportir saja.
Sektor kelima yang perlu ditingkatkan pembayaran pajaknya adalah surplus Bank Indonesia. Selama ini surplus Bank Indonesia bukan merupakan obyek Pajak Penghasilan. Data dari Bank Indonesia menyebutkan, di tahun 2011 saja, Bank Indonesia memperoleh surplus Rp. 50 triliun. Apabila surplus Bank Indonesia dikenakan tarif Pajak Penghasilan Badan 25%, maka akan didapat tambahan penerimaan pajak sebesar Rp. 12,5 triliunsetahun. Syarat untuk mewujudkan hal ini hanyalah kerjasama yg baik antara Bank Indonesia dengan Kemeterian Keuangan.  Tambahan Pajak ini tidak akan membebani rakyat kecil karena yg membayar adalah Bank Indonesia.
Sektor keenam yang perlu ditingkatkan pembayaran pajaknya adalah transaksi perbankan. Data dari Bank Indonesia menyebutkan, total uang beredar termasuk yg ada di rekening perbankan selama tahun 2013 mencapai 10.000 trilun rupiah. Apabila dari total uang beredar ini diketemukan ada pajak yg belum dibayar sebesar 5% saja (asumsi tarif pajak terendah), maka akan ada tambahan penerimaaan pajak sebesarRp. 500 triliun. Syaratnya adalah, Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan diijinkan bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan dan PPATK untuk mendapatkan data transaksi perbankan sehingga  Direktorat Jenderal Pajak akan dengan mudah mengecek berapa transaksi keuangan yg sebenarnya dari Wajib Pajak. Tambahan penerimaan pajak ini tidak akan membebani rakyat kecil karena yang akan membayar pajak ini adalah orang yg mempunyai rekening besar di perbankan.
Sektor ketujuh yang perlu ditingkatkan pembayaran pajaknya adalah transaksi valas dan derivatif mata uang. Selama ini hanya transaksi jual beli saham yang dikenakan Pajak Penghasilan 0,1% sedangkan transaksi valas dan derivatifnya tidak dikenakan Pajak Penghasilan. Data dari Bank Indonesia menyebutkan, total nilai transaksi valas dan derivatifnya mencapai US$ 5 billion setiap hari. Dengan asumsi kurs US$ terhadap rupiah adalah Rp.11.000/US$, maka total transaksi valas dan derivatifnya mencapai kira-kira Rp. 20.000 triliun setahun. Apabila dikenakan tarif Pajak Penghasilan sebesar 0,1% seperti transaksi jual beli saham, maka akan didapat tambahan penerimaan Pajak Penghasilan sebesar Rp. 20 triliun setahun. Tambahan penerimaan pajak ini tidak akan membebani rakyat kecil karena yg akan membayar adalah bank dan perusahaan jasa keuangan.
Apabila berapa sektor diatas digali dengan serius, maka akan didapatkan tambahan penerimaan pajak dan cukai sekitar Rp. 750 triliun setahun yang bisa digunakan untuk menutup subsidi BBM tanpa perlu membebani rakyat kecil yang sudah menderita. Syarat yang diperlukan hanyalah kerjasama yang baik antar instansi pemerintah seperti Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Perhubungan,Kementerian ESDM, DPR RI, BPK RI  dan lain-lain. Presiden terpilih Joko Widodo pasti akan berusaha mewujudkan adanya tambahan penerimaan pajak dan cukai sampai 750 trilun rupiah ini yang pada akhirnya bisa dimanfaatkan untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Dengan tambahan penerimaan negara sebesar 750 triliun rupiah ini, Pemerintahan Joko Widodo tidak perlu menaikkan harga BBM yg memicu inflasi tinggi yg pada akhirnya hanya membebani rakyat kecil.
Oleh: Mochtar Mohamad*
*) Mochtar Mohamad adalah Panglima Laskar Dewaruci