BANDUNG – Sidang kasus dugaan pungutan liar (Pungli) Pendaftaran Tanah Sistemtis Lengkap (PTSL) Desa Lambangsari, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi pada tahun 2021 berlangsung kembali.
Kasus tersebut menjerat tersangka tunggal Kepala Desa (Kades) Pipit Haryanti (PH) yang saat ini non aktif sementara memasuki tahap sidang kedua dengan agenda penyampaian keberatan terhadap dakwaan (eksepsi) Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung, Rabu (12/10/2021).
Dalam penyampaian eksepsinya, Kuasa Hukum terdakwa PH menganggap isi dakwaan yang disampaikan kepada mejelis hakim terhadap terdakwa PH dinilai cacat hukum dan tidak dapat diterima. Bahkan dalam dakwaan dimaksud, JPU juga dinilai ragu dalam menetapkan PH sebagai pelaku tindak pidana.
“Setidaknya keraguan tersebut terlihat dari meteri penyampaian dakwaan JPU yang menyebutkan terdakwa dengan istilah ‘Perempuan Berhadapan Dengan Hukum’ dan hal tersebut dinilai bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta bertentangan dengan peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 03 Tahun 2017, hingga menjadi alasan dalam eksepsi PH yang menganggap dakwaan JPU cacat formil, sehingga dakwaan harus dibatalkan atau batal demi Hukum,” tegas Teuku Mahdar Ardian, SH, MH, selaku salah satu Kuasa Hukum PH saat membacakan materi eksepsinya di depan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Eman Sulaeman.
Bahwa, sambung Teuku Mahdar Ardian, penyebutan ‘Perempuan Berhadapan dengan Hukum’ secara terang dalam dakwaan telah nyata-nyata menujukkan bahwa Penuntut Umum tidak yakin kalau saudari Pipit Haryanti, SE, merupakan pelaku tindak pidana atas perkara yang diajukan di muka persidangan.
“Tidak hanya itu, dalam pembacaan eksepsinya Kuasa Hukum PH juga menyoroti persoalan persoalan PTSL yang sejatinya harus melalui proses administrasi sebagaimana surat perjanjian kerjasama (SKB) Nomor 119-49 Tahun 2018, Nomor : B-369/F/Fjp/02/2018, Nomor : B/9/II/2018, antara Kementerian Dalam Negeri RI dengan Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian Negara RI tentang koordinasi aparat pengawas internal pemerintah (APIP) dengan aparat penegak hukum (APH) dalam penanganan laporan atau pengaduan masyarakat yang berindikasi tindak pidana korupsi pada penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,” papar Teuku Mahdar Ardian.
Selain itu, lanjut Teuku Mahdar Ardian, pihak JPU harusnya menjalankan Intruksi Presiden RI Nomor 2 Tahun 2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di Seluruh Wilayah RI, point ke Sembilan yang salah satunya menyebutkan, Mendahulukan proses administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebelum melakukan penyidikan atas laporan masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Intruksi Presiden ini, dan Meneruskan/menyampaikan laporan masyarakat yang diterima oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional kepada pimpinan kementerian/lembaga atau Pemerintah Daerah untuk dilakukan pemeriksaan dan tindak lanjut penyelesaian atas laporan masyarakat, termasuk dalam hal diperlukan adaya pemeriksaan oleh aparat Pengawasan Intern Pemerintah,” terangnya.
“Berdasarkan uraian diatas, jelas dan terang bahwa Jaksa Penuntut Umum keliru dengan tidak menempuh proses administrasi terhadap perkara ini, karenanya patut dan beralasan hukum bila Kami bermohon Yang Mulia Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Cq. Majelis Hakim Yang Mengadili perkara a quo menyatakan dakwaan batal demi hukum,” jelas Mahdar, mengutip pembacaan eksepsinya.
Sekedar dikatahui, Kades PH dketahui ditetapkan sebagai tersangka tunggal dugaan korupsi penyalahgunaan kewenangan terkait pungli PTSL 2021 oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Bekasi pada Selasa, 02 Agustus 2022 usai menjalani pemeriksaan dihari yang sama.(RED)