BEKASI – 9 Juli yang akan datang kita sebagai bangsa akan menggelar hajat 5 tahunan yang sangat menentukan pada perjalanan dan masa depan bangsa. Hiruk pikuk politik menuju hari pemungutan suara sudah sama-sama kita ketahui. Dari segala proses dan tahapan pilpres yang ada, fenomena yang lebih mengemuka adalah pola agitasi dan propaganda dengan berbagai media. Kita sebut saja kampanye hitam. Mulai dari tebaran isu, fitnah dan pemutarbalikkan fakta yang seliweran di media sosial sampai temuan selebaran dan tabloid gelap seperti Obor Rakyat. Masing-masing kubu capres menguras energinya untuk saling menyerang secara terbuka, dan ini membuat kegaduhan politik menjadi tak punya nilai-nilai edukasi.
Wacana yang luput dari banyak orang tentang potensi pilpres dipenuhi praktek kecurangan adalah keterlibatan aparatur pemerintahan di semua tingkatan untuk menggunakan kekuatan birokrasi sebagai bagian penting mendulang suara bagi capres tertentu.
Depolitisasi Birokrasi
Konsepsi birokrasi adalah untuk menjalankan tugas-tugas pelayanan publik. Pada perjalanan dan faktanya kerap menjadi kuda tunggangan kepentingan politik penguasa. Ini menjadi sesuatu yang hingga saat ini terekam kuat dalam ingatan publik, terlebih birokrasi yang masih mengadopsi kepemimpinan model rejim Orde Baru . Ada semacam trauma politik masa lalu yang menggelayuti kita semua, mana kala birokrasi justru menjadi alat untuk mempertahankan status quo.
Dalam konteks pemerintahan di Kota Bekasi, kekuasaan dikendalikan oleh Rahmat Effendi yang politisi Golkar dan orang keduanya adalah Akhmad Syaikhu yang berasal dari PKS. Kedua partai ini bergabung dalam koalisi Prabowo-Hatta atau pasangan nomor urut 1. Mampukah duet kepemimpinan walikota/wakil walikota Bekasi ini mensterilisasi birokratnya dari kegiatan politik praktis dalam pilpres?. Kebijakan depolitisasi birokrasi amat penting untuk dikedepankan keduanya mengingat pegawai pemerintahan memang di atur dalam undang-undang untuk memposisikan diri sebagai non-partisan.
Birokrasi mensyaratkan pelayanan maksimal, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas kepada masyarakat. Birokrasi juga menghendaki prinsip meritokrasi dijalankan secara baik dan benar. Hanya orang-orang yang benar-benar profesional (ahli) di bidangnya, yang dapat menghidupkan birokrasi. Jika tidak, tentu birokrasi akan mati atau setidaknya tidak efisien.
Sejauh ini, cukup kuat indikasi keterlibatan aparatur birokrasi untuk turut serta dalam dukung-mendukung capres tertentu. Tentu ini memprihatinkan, sebab bisa dipastikan pegawai-pegawai pemerintahan tengah terkooptasi secara politik lantaran dipimpin oleh orang-orang partai. Tugas yang diemban kerap disertai dengan perintah pengamanan suara, tugas mobilisasi dalam event semacam kampanye, sampai pada penyertaan -kekuasaan- sebagai alat melakukan indoktrinasi. Jika kecenderungan ini menguat, bisa jadi birokrasi kita akan tersandera oleh kekuatan politik tertentu. Tak heran jika kemudian esensi kepatutan hanya berdasarkan citarasa politik penguasa setempat.
Penulis sengaja menitikberatkan pada hal kemungkinan keterlibatan aparatur pemerintah Kota Bekasi ketimbang ikut dalam -peperangan- kampanye hitam, sebab birokrasi yang berpolitik juga dapat disebut sebagai kejahatan politik, setidaknya perilaku curang. Maka sebaiknya pemerintah Kota Bekasi harus dapat memberikan ketegasan yang nyata bahwa pegawainya tak boleh ikut-ikutan baik langsung/tak langsung dalam kekuatan pemenangan capres tertentu.
Penulis adalah Juru Bicara Gardu JOKOWI (Gerakan Dukung JOKOWI)