BERITABEKASI.CO.ID, JAKARTA – Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Indonesia, masih dinilai lemah dalam konteks pemberian hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak. Terlebih jika dimaksudkan memberi efek jera bagi pelaku dan calon pelaku. Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN), Nanang Djamaludin kepada beritabekasi.co.id,di Jakarta, Jumat (30/05/2014).
Menurut Nanang, UU tersebut hanya memberikan ancaman hukuman pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun, kepada para pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
“Saya rasa tidak ada pelaku kekerasan seksual yang dihukum 15 tahun penjara. Malah peadofil warga negara asing, hanya dihukum tiga tahun, padahal sudah memangsa puluhan korban,” katanya.
Lebih lanjut Nanang mengatakan, rumusan pidana yang terbilang ringan seperti itu, tidak akan memberikan efek jera terhadap pelakunya. Karena hanya akan memberikan pandangan terhadap pelaku untuk melakukan aksi seksual tersebut, mengingat hukumannya yang cukup ringan.
“Nah, dalam konteks pemidanaan pada pelaku kekerasan seksual itulah sangat keliru dan tak berperspektif perlindungan korban, sekaligus tak berperspektif memberikan efek jera pada pelaku dan calon pelaku,” kata dia.
Undang-Undang tersebut, kata dia, harus direvisi dengan ancaman pidana minimal seumur hidup dan maksimal hukuman mati, khusunya bagi para peadofil serial.
Sementara itu Nanang menjelaskan, sangat penting untuk menekankan konteks membangun kesadaran masyarakat, untuk turut membantu pemulihan psikologis anak korban kekerasan seksual.
“Masyarakat sekitar harus memiliki paradigma baru dalam berpikir dan bertindak, bahwa anak yang menjadi korban kekerasan seksual adalah manusia yang harus dijaga perasaannya,” ujarnya.
Ditambahkan Nanang, sering terjadinya “kekosongan wacana” dalam membangun kesadaran masyarakat, terkait perlakuan yang semestinya terhadap korban kekerasan seksual, sering disertai dengan kekosongan aksi dan figur dalam mendorong hal tersebut.
“Selain terjadi kekosongan wacana, juga nyaris terjadi kekosongan aksi dan kekosongan figur dalam mendorong kesadaran semacam itu di masyarakat,” pungkasnya.
(Bwk)