BERITABEKASI.CO.ID, JAKARTA – Keberanian dan keteguhan dalam mempertahankan argumentasi politik yang kerap ditentang banyak pihak, tentu bukanlah perkara mudah bagi seorang aktivis HAM seperti Ratna Sarumpaet.
Kemantapannya tampil di sebuah acara stasiun TV swasta, dengan mempersoalkan Dewan Kehormatan Perwira yang notabene melanggar aturan baku TNI, kontan membuatnya mendapat banyak serangan dari berbagai pihak, sebagai pendukung “Capres Pelanggar HAM”.
“Buat saya tak masalah, memiliki sikap menuntut keberanian untuk mengambil resiko. Dan itu yang saya ambil,” tulis Ratna, melalui blackberry broadcast messenger (BBM), Minggu (15/06/2014).
Ratna menyesalkan pembuatan UU Pilpres, yang tidak mencantumkan aturan menolak calon yang diduga melanggar HAM. Lembaga-lembaga HAM resmi seperti Komnas HAM dan sejumlah LSM HAM lainnya, sejak awal tidak melakukan perundingan dengan KPU, guna mempersoalkan pencalonan Prabowo sebagai Capres.
“Kenapa dari awal tidak ada satupun lembaga ataupun LSM HAM yang berdebat dengan KPU, dalam pencalonan Prabowo sebagai Capres,” keluhnya.
Menurutnya, hal ini menjadi sangat menyedihkan, tatkala Pancasila dikhianati oleh Amandemen UUD 1945 itu sendiri. Rakyat Indonesia telah serta merta terbelah dua menjadi hitam putih, melalui Pilpres yang bersifat liberal ini.
“Bahkan tak sedikit aktivis, intelektual, seniman dan agamawan yang menjadi gamang, ikut mengambil manfaat dan jadi hitam putih,” paparnya.
Ratna mengaku, para aktivis HAM jadi tidak menyadari, kalau Purnawirawan2 TNI yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat 1998 atau yang diduga bertanggungjawab atas kematian Munir, saat ini sedang bersembunyi dibalik dua kubu Capres.
“Para aktivis HAM ini jadi tidak menyadari, karena cenderung melotot kepada Prabowo,” katanya.
Padahal sekarang ini, sambungnya, para purnawirawan TNI yang diduga pelanggar HAM itu sedang kepanasan dan buka-bukaan. Disaat itulah merupakan peluang besar bagi para aktivis HAM terutama yang senior dan pelaku sejarah, untuk mendorong kembali pengungkapan sejumlah kasus pelanggaran HAM 1998, pembantaian Aceh, Kerusuhan Poso, kerusuhan Maluku dan kematian Munir.
“Tapi semuanya bungkam, mungkin takut dicap sebagai pendukung Prabowo si “Pelanggar HAM”,” pungkasnya.
(Bam)