Mendelegitimasi Hasil Pilpres Secara Sistematis, Terstruktur dan Masif

Ilustrasi
Ilustrasi

Oleh: Hen Eska*
Pasangan Prabowo-Hatta secara resmi telah mengajukan gugatan atas hasil rekapitulasi suara pilpres yang di tetapkan KPU pada tgl 22 Juli yang lalu ke Mahkamah Konstitusi. Sebagai langkah hukum, tentu ini berkesesuaian dengan kehendak undang-undang, dimana jika ada pihak-pihak yang merasa dirugikan, diperlakukan tidak adil dan hal semacamnya dapat menempuh mekanisme hukum untuk memperoleh keadilan dan memuat kepastian hukum atas keputusan yang telah ditetapkan.
Tim Prabowo-Hatta sejak digelarnya sidang pleno rekapitulasi nasional pilpres oleh KPU telah melakukan aksi walkout serta menolak hasil penetapan KPU yang menetapkan pasangan Jokowi-JK sebagai presiden terpilih dengan raupan suara 70.997.833 atau 53,15%. Sementara pasangan nomor urut 1 Prabowo-Hatta mendapatkan 62.567.444 atau 46,85%. Terdapat selisih suara sebesar 8.421.389 suara dari total suara sebanyak 133.574.277.
Surat terbuka yang disampaikan Prabowo Subianto yang menyatakan banyaknya praktek kecurangan di pilpres sebagai dasar untuk menolak hasil pilpres sekaligus menuding KPU sebagai otoritas tertinggi penyelenggara pemilu presiden berlaku curang. Tidak main-main, tuduhan kecurangan ini diklaim oleh kubu Prabowo-Hatta bersifat sistematis, terstruktur dan masif. Terlepas apakah tuduhan ini disertai oleh data dan fakta-fakya yang akurat dan validitasnya dapat dipertanggungjawabkan, ada vonis kecurangan yang ditujukan kepada KPU justru terlihat sebagai sikap ketidaklapangan hati untuk menerima hasil pilpres.
Tahapan pilpres, sejauh ini telah memenuhi mekanisme yang diberlakukan sebagaimana aturan yang disediakan. Pemungutan dan penghitungan dari tingkat yang paling bawah (TPS) hingga berjenjang sampai di tingkat pusat, disertai saksi-saksi kedua belah pihak pasangan kontestan pilpres. Idealnya, jika ada kecurangan maka saksi yang bersangkutan boleh menyampaikan keberatan dan tak menandatangani berita acara. Keberatan dimaksudpun bisa dilakukan secara tertulis sebagai bukti pencatatan terjadinya kecurangan saat pemungutan atau penghitungan suara. Artinya, kecurangan sekecil apapun seharusnya sudah dapat di deteksi secara dini oleh para saksi.
Yang menarik dari tudingan adanya perlakuan curang oleh penyelenggara KPU justru mengesankan upaya mendelegitimasi hasil pilpres secara sistematis, terstruktur dan masif. Indikasinya adalah banyaknya pikiran yang melegalkan cara-cara destruktif saat membangun opini publik. Ada yang menyatakan bahwa jika MK memenangkan KPU sebagai pihak tergugat yang dengan sendirinya hasil penetapan KPU seperti tertera dalam Surat Keputusan KPU nomor 535/Kpts/KPU/Tahun 2014 tentang Penetapan Rekapitulasi Nasional hasil penghitungan perolehan suara peserta pemilu presiden dan wakil presiden tak mengalami perubahan, artinya Jokowi-JK tetap sebagai pemenang. Begitu juga seorang petinggi PKS sebagai partai yang tergabung di Koalisi Merah Putih yang menggagas aksi pemboikotan SU MPR untuk jadwal pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, merupakan bahasa agitatif dan provokatif. Di sayangkan karena proses persidangan di MK belum di gelar.
Berbagai pihak menganggap manuver kubu Prabowo-Hatta sebagai dalih ketidakterimaan atas kekalahan yang di deritanya. Bahkan secara membabibuta terus melakukan pembunuhan karakter kepada Jokowi-JK. KPU juga menjadi bulan-bulanan opini negatif dari pendukung Prabowo-Hatta sekalipun hanya memuat caci maki dan sumpah serapah. Bahkan, MK juga tak luput dari tekanan psikologis yang sengaja dilempar oleh Koalisi Merah Putih dengan, seperti tudingan kepada Kettua KPU yang bergaris keluarga dengan JK dari pihak istri, ketua MK Hamdan Zoelva pun dituding memliki garis keluarga dengan salah seorang timses Jokowi-JK. Tapi tak pernah disebut bahwa Hamdan Zoelva adalah kader PBB, lalu Patrialis Akbar adalah kader PAN yang kedua partai ini tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Kalau mau lebih jauh lagi, Hatta Rajasa adalah besan SBY yang dimenit-menit akhir menyatakan dukungannya kepada Prabowo-Hatta. Dititik inilah justru secara vulgar ada upaya mendelegitimasi hasil pilpres secara sistematis, terstruktur dan masif.
Pun demikian, masyarakat akan melihat dengan jernih, bahwa proses pilpres sudah selesai. Jokowi-JK pemenangnya. Kalau ada gugatan kubu Prabowo-Hatta melalui MK, diapresiasi serta berharap takkan ada huru-hara politik pasca keputusan MK nanti. Selanjutnya, pemerintahan baru akan bekerja dengan modal politik yang tak lagi persoalkan. Sementara rakyat secara bersama-sama akan membangun kesadaran untuk melakukan kontrol kekuasaan dari segala bentuk penyimpangannya.
*Penulis adalah pemerhati politik, tinggal di Bekasi