Kursi "Mahal" Wakil Rakyat akan Menyandera Lima Tahun?

 

Ilustrasi
Ilustrasi

Oleh: Direktur Bekasi Parliamentary Center BPC Bekasi Didit Susilo
IBARAT Kentut money politics (politik uang) itu ada namun semuanya menyembunyikan dengan alasan lumrah. Pemilih menerima dan pemberi sengaja mencari sasaran. Vulgar, terang-terangan dan kasar sehingga seperti pasar malam.
Gejala itu kian mencemaskan saat politik menjelma pesta pora kekuasaan dan harta, dan tanpa malu menjual janji-janji palsu, menipu dan menginjak-nginjak demokrasi. Nyatanya, politik telah menginvasi hukum dan membajak institusi-institusi demokrasi kepada “berhala uang”.
Politik suap, pasar suara, dan transaksi politik mengisi setiap lorong dan sudut ruang politik, demi sebuah kursi “Mahal” dewan terhormat DPRD Kota Bekasi periode 2014-2019 di Gedung Kalimalang. Walaupun masih banyak masyarakat pemilih yang idialis, santun dan bermartabat dalam demokrasi.
Demokrasi liberal bersanding politik transaksional telah menjadikan uang dan kuasa sebagai gravitasi politik mutakhir. Pemilik suara terperdaya dengan pasar uang, struktur pimpinan komunitas masyarakat banyak yang malah menjadi broker dan makelar jual-beli suara. Tontonan itu seolah semua orang sama dihadapan uang, menjijikan, memalukan dan tak ber-etika.
Dari 50 kursi DPRD Kota Bekasi yang diperebutkan, sebanyak 21 patahana (incumbent) yang berhasil lolos, selebihnya 29 orang merupakan wajah baru (new comer).
PDIP yang mendulang 247.020 suara (22,9 %) berhasil menempatkan 12 kursi, disusul Partai Golkar 8 kursi, 169.903 suara (15,8%), PKS mendapat 7 kursi, 106.703 (9,9%) dan Gerindra 6 kursi, 102.599 (9,5%), PPP 4 kursi, Demokrat 4 kursi, Hanura 4 kursi, PAN 4 kursi dan PKB 1 kursi. Partisipasi pemilih sebesar 61,8% atau sebesar 1.105.109 namun masih ada pemilih yang menggunakan hak pilih berakibat suara tidak sah alias “bingung” sebanyak 114.803 orang.
Kurang dari 500 caleg bertarung di 6 Dapil, berkompetisi secara brutal karena tuntutan proposional terbuka (suara personal terbanyak). Akibatnya pertarungan politik menjadi “tarung terbuka” menghalalkan segala cara meski tidak semua caleg menempuh cara sama.
Untuk memikat pemilih jurus yang paling ampuh dengan uang, sembako, pengobatan gratis, fogging dan sejuta janji lainnya. Bagi patahana mengklaim berbagai usulan proyek aspirasi, dana hibah sosial serta untuk partai pemerintah atau pemenang Pilkada mengklaim beberapa keberhasilan pembangunan, dengan tujuan menarik simpati pemilih.
Tapi rupanya pemilih sudah jenuh dengan berbagai manuver dan janji-janji politik sehingga bersikap apatis dan ikut-ikut transaksional meski pemilih rasional. Akhirnya semua diukur dengan uang meski tidak semua namun Pinleg kali ini patut menjadi catatan dasyatnya kekuatan uang.
Uang politik beredar membius pemilih jumlahnya sangat fantastis jika dirata-rata per dapil sekitar Rp 10 milyar. Sebanyak 6 Dapil asumsinya sekitar Rp 60 milyar. Itu belum termasuk cost politik berupa alat peraga, kampanye dan uang lainnya.
Pendek kata rata-rata harga sebuah kursi DPRD Kota Bekasi jika dihitung cost politik Rp 1 sampai Rp. 3 milyar. Angka rielnya dilapangan pasti lebih besar jika dihitung secara keseluruhan semua caleg yang bertarung. Hal itu tidak sebanding dengan honor yang diterima saat duduk berkisar Rp 18 juta per bulan sudah termasuk uang rapat, instensif, kunjungan kerja dan tunjangan lainnya.
Honor sebesar itu masih dipotong uang partai berkisar 30 persen dari honor, uang fraksi, uang untuk pembiyaan konstituen dan sumbangan lainnya. Penghasilan bersih berkisar Rp. 5 hingga Rp. 10 Juta tergantung cara penggunaannya.
Meski untuk menjadi anggota dewan terhormat sebagian orang beragumentasi untuk pengabdian, namun hal itu masih harus dibuktikan ketika mereka menjabat. Bagi yang berlatar belakang pengusaha mungkin tidak akan berpengaruh secara signifikan karena masih memiliki penghasilan berlimpah.
Akan tetapi yang memang berlatar belakang politisi murni akan dibuat pusing kepala. Timbul pertanyaan kapan modal akan kembali atau setidaknya mengurangi biaya politik yang sudah dikeluarkan saat nyaleg.
Menciptakan high cost democracy atau demokrasi berbiaya tinggi, high cost polotics (politik biaya tinggi) mau tidak mau menjadi investasi biaya politik yang harus dikembalikan.
Jika para politisi Kalimalang berpenghasilan bersih berkisar Rp. 10 juta maka dalam setahun mendapat Rp. 120 juta maka jika 5 tahun (masa jabatan) maksimal menerima honor Rp 600juta.
Untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan saat nyaleg secara rasio sesuatu yang tidak mungkin. Meski tidak semua caleg mengeluarkan biaya politik yang besar namun secara umum rata-rata mereka sama.
Memang sulit mengukur menduduki kursi Gedung Kalimalang itu sebuah pengabdian, pretise atau hanya untuk mencari keuantungan pribadi dan kolompok. Saat ini, Pinleg DPRD seperti menciptakan bom waktu atau masih dianggap sebagai the problems of local democracy, belum menjadi solusi bagi demokrasi lokal. Tidak heran jika kalangan pesimistik berpendapat bahwa “pileg is a problem, not solution”.
Apakah nanti akan menghasilkan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2014-2019 yang berkualitas menjadi corong masyarakat atau hanya datang, duduk, diam dan duit. Setidaknya fenomena politik uang akan menjadi alasan mereka juga bersikap “masa bodo”.
APAKAH AKAN TERSANDERA 5 TAHUN?
Dengan fenomena “high cost democracy” atau demokrasi berbiaya tinggi, para caleg banyak menjadi aktor yang menonjolkan pragmatisme kepentingan dan belum memiliki preferensi politik yang jelas.
Apakah nanti selama 5 tahun menjabat tidak tersandera kepentingan untuk memulangkan modal atau mencari cara lain dengan melanggar hukum seperti korupsi. Sebab dalam catatan para anggota DPRD periode lalu ada yang terindikasi kasus suap fee 2 persen RAPBD tahun 2010.
Semoga semua ini menjadi bahan pemikiran bersama dan berprasangka baik terkait harapan baru terhadap 50 orang anggota DPRD Kota Bekasi periode 2014-2019 pasca dilantik Agustus mendatang.
Sejuta harapan tetap ditumpahkan kepada 50 orang politisi Kalimalang agar terus mengawal secara kritis jalannya pemerintahan Rahmat Eefendi, menampung berbagai aspirasi masyarakat untuk memberikan solusi yang tepat, memaksimakan penganggaran APBD yang pro rakyat dan terus menjadikan Kota Bekasi lebih Maju, Sejahtera dan Ihsan.
Para politisi Kalimalang mendatang akan lebih baik dari konfigurasi politik Gedung Kalimalang sebelumnya, benar-benar menjadikan jabatan dewan terhormat sebagai pengabdian kepada masyarakat paling tidak terhadap pemilihnya. Menjalankan fungsi kedewanan secara benar, berpihak pada rakyat dan anti KKN.
Sebagai politisi Kalimalang bisa menjawab semua keragu-raguan publik dengan membuktikan dengan kinerja dan menjadi lidah penyambung suara rakyat, memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Terus menjaga gagasan, idiologi, menjaga keutamaan berpolitik, menjadi tauladan dan contoh yang baik dan menjadi agen perubahan untuk mensejahterakan masyarakat melalui produk APBD.
Dengan APBD 2014 yang menembus angka Rp. 3,2 triliun dan tahun-tahun ke depan diharapkan tembus angka Rp. 5 triliun lebih mudah dalam pembangunan, mensejahterakan masyarakat secara menyeluruh menuju Bekasi Maju, Sejahtera dan Ihsan. SEMOGA